Perkembangan agama hindu di Bali Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahanlahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara. Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini. Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa
pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini. Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasuraratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta. Pada saat Senapati I Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual. Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang dominan, di samping diakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai agama Hindu atau agama Hindu Dharma, unsur-unsur ketiga sekta tersebut masih dapat diamati. Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923
di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.
Di Indonesia Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Kedua tokoh besar ini mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan Dharma. Bukti- bukti peninggalan ini sangat banyak berupa sisa- sisa kerajaan Hindu seperti Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman di Jawa Barat. Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur, Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dengan rajanya Sanjaya, Kerajaan Singosari dengan rajanya Kertanegara dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, begitu juga kerajaan Watu Renggong di Bali, Kerajaan Udayana, dan masih banyak lagi peninggalan Hindu tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Raja- raja Hindu ini dengan para alim ulamanya sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan agama, seni dan budaya, serta kesusasteraan pada masa itu. Sebagai contoh candi- candi yang bertebaran di Jawa di antaranya Candi Prambanan, Borobudur, Penataran, dan lain- lain, pura- pura di Bali dan Lombok, Yupa- yupa di Kalimantan, maupun arca- arca dan prasasti yang ditemukan hampir di seluruh Nusantara ini adalah bukti- bukti nyata sampai saat ini. Kesusasteraan Ramayana, Mahabarata, Arjuna Wiwaha, Sutasoma (karangan Empu Tantular yang di dalamnya terdapat sloka "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa") adalah merupakan warisan- warisan yang sangat luhur bagi umat selanjutnya. Agama adalah sangat menentukan corak kehidupan masyarakat waktu itu maupun sistem pemerintahan yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit perkembangan kerajaan Majapahit. Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, oleh pewarisnya dibuatkan pedharman atau dicandikan pada candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai Bhatara Siwa dan yang kedua didharmakan atau dicandikan pada candi Antapura di daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Budha). Raja Jayanegara sebagai Raja Majapahit kedua
setelah meninggal didharmakan atau dicandikan di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha. Maha Patih Gajah Mada adalah seorang Patih Majapahit sewaktu pemerintahan Tri Buana Tungga Dewi dan Hayam Wuruk. Ia adalah seorang patih yang sangat tekun dan bijaksana dalam menegakkan dharma, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam pemerintahan Sri Baginda. Semenjak itu raja Gayatri memerintahkan kepada putranya Hayam Wuruk supaya benar- benar melaksanakan upacara Sradha. Adapun upacara Sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para leluhur atau raja- raja yang telah meninggal dunia (amoring Acintya). Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya. Kendatipun agama Hindu sudah masuk di Indonesia pada permulaan Tarikh Masehi dan berkembang dari pulau ke pulau namun pulau Bali baru mendapat perhatian mulai abad ke-8 oleh pendeta- pendeta Hindu di antaranya adalah Empu Markandeya yang berAsrama di wilayah Gunung Raung daerah Basuki Jawa Timur. Beliaulah yang memimpin ekspedisi pertama ke pulau Bali sebagai penyebar agama Hindu dengan membawa pengikut sebanyak ± 400 orang. Ekspedisi pertama ini mengalami kegagalan. Setelah persiapan matang ekspedisi kedua dilaksanakan dengan pengikut ± 2.000 orang dan akhirnya ekspedisi ini sukses dengan gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka adalah Taro di wilayah Payangan Gianyar dan beliau mendirikan sebuah pura tempat pemujaan di desa Taro. Pura ini diberi nama Pura Murwa yang berarti permulaan. Dari daerah ini beliau mengembangkan wilayah menuju pangkal gunung Agung di wilayah Besakih sekarang, dan menemukan mata air yang diberi nama Sindhya. Begitulah permulaan pemujaan Pura Besakih yang mula- mula disebut Pura Basuki. Dari sini beliau menyusuri wilayah makin ke timur sampai di Gunung Sraya wilayah Kabupaten Karangasem, selanjutnya beliau mendirikan tempat suci di sebuah Gunung Lempuyang dengan nama Pura Silawanayangsari, akhirnya beliau bermukim mengadakan Pasraman di wilayah Lempuyang dan oleh pengikutnya beliau diberi gelar Bhatara Geni Jaya Sakti. Ini adalah sebagai tonggak perkembangan agama Hindu di pulau Bali. Berdasarkan prasasti di Bukit Kintamani tahun 802 Saka (880 Masehi) dan prasasti Blanjong di desa Sanur tahun 836 Saka (914 Masehi) daerah Bali diperintah oleh raja- raja Warmadewa sebagai raja pertama bernama Kesariwarmadewa. Letak kerajaannya di daerah Pejeng dan ibukotanya bernama Singamandawa. Raja- raja berikutnya kurang terkenal, baru setelah raja keenam yang bernama Dharma Udayana dengan permaisurinya Mahendradata dari Jawa Timur dan didampingi oleh Pendeta Kerajaan Empu Kuturan yang juga menjabat sebagai
Mahapatih maka kerajaan ini sangat terkenal, baik dalam hubungan politik, pemerintahan, agama, kebudayaan, sastra, dan irigasi semua dibangun. Mulai saat inilah dibangun Pura Kahyangan Tiga (Desa, Dalem, Puseh), Sad Kahyangan yaitu Pura Lempuyang, Besakih, Bukit Pangelengan, Uluwatu, Batukaru, Gua Lawah, Sistem irigasi yang terkenal dengan Subak, sistem kemasyarakatan, Sanggar/ Merajan, Kamulan/Kawitan dikembangkan dengan sangat baik. Sewaktu kerajaan Majapahit runtuh keadaan di Bali sangat tenang karena tidak ada pergolakan agama. Pada saat itulah datang seorang Empu dari Jawa yang bernama Empu Dwijendra dengan pengikutnya yang mengembangkan dan membawa pembaharuan agama Hindu di Bali. Dewasa ini, terutama sejak jaman Orde Baru, perkembangan Agama Hindu makin maju dan mulai mendapat perhatian serta pembinaan yang lebih teratur.
Di Dunia Agama Hindu adalah agama tertua di dunia, sedangkan agama-agama lainnya timbul setelah agama Hindu ada. Bukti-bukti peninggalan sejarah yang dapat dijumpai menunjukkan bahwa agama Hindu pernah ada dan tersebar meliputi daerah yang sangat luas di belahan dunia ini. Beberapa bukti peninggalan sejarah dan kepercayaan masyarakat dunia dapat kita pergunakan sebagai dasar untuk menyatakan dan mempelajari bahwa agama Hindu pernah berkembang di negara-negara lain selain India antara lain sebagai berikut. 1.
Agama Hindu di Mesir
Dari hasil suatu penggalian di Mesir didapatkan sebuah prasasti dalam bentuk inskripsi berangka tahun 1280 sebelum Masehi, yang memuat syarat-syarat suatu perjanjian antara Ramses II dengan bangsa Hittite. Dalam perjanjian ini dinyatakan bahwa Maitrawaruna sebagai dewa kembar dalam Weda telah dinyatakan sebagai saksi. Raja-raja Mesir di zaman dahulu memakai nama Ramses I, Ramses II, Ramses III dan sebagainya. Nama Ramses sangat mirip dengan nama Rama yang dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Selain itu nama Maitrawaruna adalah nama dewa-dewa yang disebutkan di dalam Weda atau dalam konsep ke-Tuhanan agama Hindu. Dari data ini dapat diperkirakan bahwa kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu mempunyai pengaruh dan pengikut di daerah ini. 2.
Agama Hindu di Gurun Sahara Afrika
Para ahli geologi mengemukakan bahwasannya gurun Sahara adalah sebuah dasar samudera yang telah mengering. Kalau kita perhatikan kata “Sahara” dengan kata “Sagara” sangat mirip, sehingga diyakini bahwa nama Sahara merupakan pengembangan dari kata Sagara. Bahwa pada waktu sahara masih merupakan laut, penduduk di sekitarnya kebanyakan menggunakan nama yang bernada sansekerta. Bahkan dikatakan bahwa mereka mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penduduk negeri Kosala. Kosala adalah nama Negara yang diceritakan dalam kitab Mahabharata. Agak jauh dari pantai Timur Afrika terdapat sebuah pulau yang bernam Madagaskar. Di pulau ini bayak nama-nama yang erat hubungannya dengan nama Rama.
3.
Agama Hindu di Meksiko
Dalam buku The Maya Indians of Southern Yucatan, North and British Honduras,karya T.W.F. Gann, halaman 56, atas dasar penyelidikannya dinyatakan bahwa di Meksiko terdapat salah satu hari raya yang dirayakan oleh penduduk, bertepatan dengan saat perayaan Nawaratri yang disebut hari raya Rama Sita. Di samping itu dalam buku Harbilas Sarda’s Hindu Superiority, karya Baron Humboldt, halaman 151, dijelaskan bahwa dari hasil penggalian peninggalan sejarah di daerah ini didapatkan sejumlah patung-patung Ganesha. Patung Ganesha erat sekali hubungannya dengan kebudayaan Hindu. Di samping itu penduduk asli di daerah ini disebut Astika, merupakan penganut yang meyakini ajaran Weda. Kata Astika erat sekali hubungannya dengan kata Aztec, yaitu nama dai penduduk asli di daerahMeksiko. 4.
Agama Hindu di Peru
Dalam buku Asiatic Researches, jilid I, halaman 426, dijelaskan bahwa penduduk asli Peru disebut Inca. Di lingkungan orang-orang Inca ada suatu hari raya tahunan yang dirayakan pada saat matahari berada pada jarak yang terjauh dari khatulistiwa. Kata Inca mirip dengan kata ina yang kemungkinan besar berasal dari kata ina (bahasa Sansekerta) yang berarti matahari. Suatu kenyataan bahwa orang-orang Inca mengenal hari raya yang berhubungan dengan matahari. Jadi mereka tergolong para pemuja Surya. Surya adalah nama lain dari Adhitya, salah satu nama Dewa dalam Hinduisme. 5.
Kenyataan yang berhubungan dengan Nama Kalifornia
Salah satu kitab Smerti Hindu yaitu dalam kitab Purana dikenal suatu cerita tentang raja Sagara. Dikisahkan Raja Sagara dengan 60.000 putra-putranya di bakar hancur menjadi debu oleh resi Kapila. Raja Sagara beserta putra-putranya pergi ke Pata Loka yaitu negeri di balik bumi, dalam usahanya mencari kuda persembahan untuk upacara Aswameda Yadnya (upacara korban kuda). Kuda yang mereka cari ditemukan di dekat resi Kapila yang sedang melakukan tapa brata yoga samadhi. Karena diganggu, maka resi kapila menjadi marah dan dengan pandangan matanya mereka dibakar habis menjadi abu Patala Loka berarti negeri di balik bumi, sedangkan negeri di balik bumi India adalah Amerika. Nama Kalifornia sangat mirip dengan nama Kapila Aranya dan mungkin sekali nama Kalifornia memang berasal dari nama Kapila Aranya. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa di California terdapat cagar alam Taman Gunung Abu (Ash mountain park), demikian juga sebuah pulau Kuda (Horse Island) di Amerika Utara. 6.
Agama Hindu di Australia
Sebuah buku The Native Tribes of Central Australia, karangan Spencer Gillen, halaman 1899, menguraikan bahwa di kalangan penduduk asli Australia memilikisuatu tarian tradisional yang menggambarkan Siwa dan disebut siwa dance atau tarian siwa. Tarian ini umum di kalangan penduduk asli. Berdasarkan hasil penyelidikan secara teliti maka diketahui bahwa para penarinya menggambari dahi mereka dengan simbul mata ketiga. Hal ini merupakan bukti bahwa penduduk Australia sudah mempunyai kontak dengan kebudayaan
Hindu. Dalam kebudayaan Hindu, Dewa Siwa memakai mata ketiga yang terletak di antara dua kening, yaitu disebut Trinetra atau Trikuta. 7.
Agama Hindu di Afghanistan
Di Afghanistan telah ditemukan arca ganesa dari abad ke-5 M yang ditemukan di Gardez, Afghanistan sekarang (Dargah Pir Rattan Nath, Kabul). Pada arca tersebut terdapat tulisan ’’besar dan citra indah mahavinayaka’’ disucikan oleh Shahi Raja Khingala. Arca Ganesa tersebut menunjukkan bahwa agama hindu merupakan agama yang dianut oleh masyarakat di Afghanistan pada abad ke-5 hingga abad ke-7. Di Kampuchea saat ini terdapat taman wisata arkeologis angkor wat, yaitu kompleks kuil-kuil yang terdiri dari angkor wat, bayon, dan banteay srey. Angkor Wat merupakan candi Hindu yang dibangun sebagai penghormatan kepada Dewa Wisnu dan sebagai simbol kosmologi Hindu. Angkor pernah menjadi kota suci tujuan para peziarah dari seluruh kawasan Asia Tenggara. 8.
Agama Hindu di Filipina
Bukti-bukti pengaruh Hindu di Filipina, yaitu dengan ditemukannya prasasti tembaga laguna atau disebut juga keping tembaga laguna. Prasasti tembaga laguna adalah dokumen tertulis pertama ditemukan dalam bahasa Filipina. Piring itu ditemukan pada tahun 1989 oleh E. Alfredo Evangelista di laguna de Bay, di Metroplex, Manila, filipina. Prasasti tersebut bertuliskan tahun 822 saka. Dalam prasasti tersebut terdapat banyak kata dari bahasa Sanskerta, Jawa Kuno, Malaya Kuno, dan Bahasa Tagalog Kuno.