LAPORAN KASUS
STRUMA NODUSA NON TOXIC
Disusun oleh: Nita Widjaya 1102013212
Pembimbing: dr. Hadiyana Suryadi, SpB
Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi January 2018
LAPORAN KASUS
I.
Identitas Pasien Nama
: Ny. K
Umur
: 40 th
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Sunda
Status Pernikahan : Menikah Alamat
: Garut Kota
Tanggal Masuk
: 28 November 2017
Tanggal Operasi : 29 November 2017
II.
Tanggal Pulang
: 3 Desember 2017
Ruangan
: Marjan Bawah
Anamnesis A. Keluhan Utama: Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher kanan depan sejak 5 tahun B. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien wanita, berusia 40 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya benjolan yang muncul di leher depan sisi kanan sejak 5 tahun yang lalu. Awalnya benjolan dirasakan sebesar kelereng, tapi seiring berjalannya waktu, benjolan semakin membesar hingga berukuran kurang lebih sebesar telur ayam kampung. Pasien tidak merasakan adanya nyeri di daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada mengeluhkan sering berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada penurunan berat badan. Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan buang air besar, gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur. Pasien mengaku selalu menggunakan garam beryodium dirumahnya. Pasien mengaku tidak pernah tinggal didaerah yang penduduknya banyak menderita penyakit gondok.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mengalami gejala yang sama sebelumnya di sangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat penyakit kuning disangkal. Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada. D. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien mengaku tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama. Riwayat penyakit jantung, penyakit kuning disangkal. E. Riwayat Alergi Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat maupun makanan
III.
Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum
: Sakit Sedang
b. Kesadaran
: Compos Mentis
c. Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
d. Nadi
: 78 x/menit
e. Respirasi
: 20 x/menit
f. Suhu
: 36,9
Status Generalis Kepala -Mata
: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
-Hidung
: epistaksis -/-, deviasi septum -/-
-Mulut
: tidak ada kelainan
-Leher
: KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat, Nyeri telan Massa a/r colli anterior kanan, Suara tidak serak
Thorax Inspeksi
: hemithorax kanan dan kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi
: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi
: sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi Pulmo : VBS kanan = kiri normal, rhonki -/-, wheezing -/Cor
: Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
: datar dan lembut
Auskultasi
: Bising Usus (+) normal
Perkusi
: Timpani di seluruh perut,
Palpasi
: DM (-), NT (-), NL (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
:
- Atas
Tonus
: normal
Massa
: -/-
Gerakan
: aktif/aktif
Kekuatan
: 5/5
Edema
: -/-
- Bawah
Tonus
: normal
Massa
: -/-
Gerakan
: aktif/aktif
Kekuatan
: 5/5
Edema
: -/-
Status Lokalis a/r colli anterior kanan : massa ukuran 5 X 4 X 4 cm, konsistensi kenyal (+), mobile (+), berbatas tegas (+), ikut bergerak saat menelan (+), nyeri tekan (-)
IV.
Pemeriksaan Penunjang Hasil Ekspertise : 1. Rontgen Thorax :
Tidak tampak struma intrathorakal Tidak tampak pembesaran jantung Tidak tampak TB paru aktif
2. Laboratorium pada tanggal 14/11/2017
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
13,6
12 - 16 g/dl
Hematokrit
41
37 - 47%
Eritrosit
4,82
4,3 - 6,0 juta/ul
Leukosit
6.690
4800 - 10800/ul
Trombosit
286.000
150.000 - 400.000/ul
Bleeding time
2’00”
1 - 3 menit
Clotting time
7’00”
1 - 6 menit
SGPT (ALT)
15
<40 U/l
SGOT (AST)
9
<35 U/l
Ureum
19
20 - 50 mg/dl
Kreatinin
0,9
0,5 - 1,5 mg/d
Natrium (Na)
136
133-145 mEq/L
Kalium (K)
3,6
3,6-3.3 mEq/L
Clorida (Cl)
103
98-108 mEq/L
Kalsium (Ca bebas)
5,12
4,7-5,2 mg/dL
1.03 ng/dL
ng/dL
Hematologi Darah rutin
Kimia
Elektrolit
Imunoserologi FT4
TSHS
V.
0.95 uIU/mL
uIU/mL
Diagnosa Kerja Struma nodosa non toxic
VI.
Diagnosis banding 1. Follicular Thyroid Carcinoma 2. Hashimoto Thyroiditis 3. Medullary Thyroid Carcinoma 4. Papillary Thyroid Carcinoma 5. Riedel Thyroiditis 6. Subacute Thyroiditis 7. Thyroid Lymphoma 8. Thyroid Nodule
VII.
Penatalaksanaan Operatif: Isthmolobektomi dextra
Nama : NY. K Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Kamar OK : 1
Ruang : Marjan Bawah Operator Bedah : dr. M.
Asisten operator : dr. Viator
Dokter Anestesi : dr. Dhadi,
Rizal Sp.B / dr. Viator
Instrumen : Acep
SpAn
Sirkuler Ners : Riswan
Penata Anestesi : Eqi
Diagnosa PreOp: SNNT
Nama Operasi :
Jenis Operasi : Besar
Dextra
Isthmulobectomy Dextra
Posisi Operasi : Supine
Diagnosa PostOp: SNNT
Anestesi : General Anestesi
Dextra
Dikirim untuk PA : Ya
Tanggal Operasi: 29/11/17
Jam Operasi Mulai: 14.00
Lama Operasi: 120 Menit
WIB Jam Operasi Selesai : 16.00 WIB Laporan Operasi: DO
Ditemukan massa tiroid terfiksir ukuran 5 X 4 X 4 cm
Didapatkan N. Laryngeus recurrent intak
Dilakukan tindakan a dan antiseptik Insisi sesuai desain Dilakukan pendalam insisi lapis demi lapis menyisakan M. platysma Dilakukan identidika sampai didaparkan DO Dilakukan pemisahan Massa tirroid dari jaringan sekitarnya
Rawat luka perdarahan dengan preservasi N. Laryngeus recurrent
Tutup lapangan operasi lapis demi lapis dengan dipasang sebuah drain
TO
Operasi Selesai INSTRUKSI POST OP:
Observasi TTV dan perdarah setiap 1 jam Puasa hingga sadar penuh Monitor drainage Inf Asering: D5% = 2:1 (1500cc) 20 gtt/menit Inf metronidazole 3x750mg Inj Cefotaxim 1x gr IV Inj Ketorolac 2x1 mg IV
Inj Ranitidin 2x1 mg IV Ganti verban POD II
VIII. Prognosis Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad fungsionam
: ad bonam
Ad Sanationam
: ad bonam
Follow up 28/11/2017
S/ Os mengeluh adanya benjolan pada leher
(Marjan Bawah)
sebelah kanan sejak 5 tahun yang lalu O/ ku: ss ks: cm
T : 110/60 mmHg N : 89x/menit
A/ SNNT P/ RL 500 cc 20 Gtt/menit,
R : 20 x/menit
Rencana ishmolobectomy dektra
0
S : 36,6 C
29/11/2017 (Marjan Bawah)
S/ Os mengeluh adanya benjolan pada leher sebelah kanan sejak 5 tahun yang lalu
T : 110/60 mmHg N : 89x/menit R : 20 x/menit 0
S : 36,6 C
O/ ku: ss ks: cm A/ SNNT P/ RL 500 cc 20 Gtt/menit, Rencana ishmolobectomy dektra
30/11/2017 30/12/2017 (Marjan Bawah) POD 1 T : 120/80 mmHg N : 106 x/menit R : 20 x/menit 0
S : 36,7 C
S/nyeri bekas op (+), sesak (-), demam (-), Suara parau (-) O/ Ku : ss Ks: cm SpO2: 96% Drain: 20 cc, A/ Post Ishmolobectomy dextra POD I P/ Inf Asering: D5% = 2:1 (1500cc) 20 gtt/menit Inf metronidazole 3x750mg Inj Cefotaxim 1x gr IV Inj Ketorolac 2x1 mg IV Inj Ranitidin 2x1 mg IV Ganti verban POD II
1/12/2017 (Marjan
S/ nyeri (+) Bawah)
POD II
O/ ku: ss ks: cm A/ Post Ishmolobectomy dextra POD II P/
T : 110/60 mmHg N : 89x/menit R : 20 x/menit 0
S : 36,6 C
Inf Asering: D5% = 2:1 (1500cc) 20 gtt/menit Inf metronidazole 3x750mg Inj Cefotaxim 1x gr IV Inj Ketorolac 2x1 mg IV Inj Ranitidin 2x1 mg IV Aff drain
2/12/2017 (Marjan
Bawah)
POD III
S/ nyeri dirasakan sudah berkurang O/ ku: ss ks: cm A/ Post Ishmolobectomy dextra POD III
T : 110/70 mmHg N : 93x/menit R : 20 x/menit 0
S : 36,6 C
P/ Inf Asering: D5% = 2:1 (1500cc) 20 gtt/menit Inf metronidazole 3x750mg Inj Cefotaxim 1x gr IV Inj Ketorolac 2x1 mg IV Inj Ranitidin 2x1 mg IV
30/11/2017 3/12/2017
S/nyeri dirasakan sudah berkurang
(Marjan Bawah) POD
O/ Ku : ss Ks: cm SpO2: 96%
IV
A/ Post Ishmolobectomy dextra POD IV
T : 120/80 mmHg N : 106 x/menit R : 20 x/menit 0
S : 36,7 C
P/ Inf Asering: D5% = 2:1 (1500cc) 20 gtt/menit Inf metronidazole 3x750mg Inj Cefotaxim 1x gr IV Inj Ketorolac 2x1 mg IV Inj Ranitidin 2x1 mg IV
TINJAUAN PUSTAKA STRUMA NODUSA NON TOKSIK
I.
Defenisi Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfoya. Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfoya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patoya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma.
II.
Embriologi Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang pertama kali tampak pada fetus, kelenjar ini berkembang sejak minggu ke-3 sampai minggu ke-4 dan berasal dari penebalan entoderm dasar faring, yang kemudian akan berkembang memanjang ke kaudal dan disebut divertikulum tiroid. Akibat bertambah panjangnya embrio dan pertumbuhan lidah maka divertikulum ini akan mengalami desensus sehingga berada di bagian depan leher dan bakal faring. Divertikulum ini dihubungkan dengan lidah oleh suatu saluran yang sempit yaitu duktus tiroglosus yang muaranya pada lidah yaitu foramen cecum.
Divertikulum ini berkembang cepat membentuk 2 lobus yang tumbuh ke lateral sehingga terbentuk kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus lateralis dengan bagian tengahnya disebut ismus. Pada minggu ke-7 perkembangan embrional kelenjar tiroid ini mencapai
posisinya yang terakhir pada ventral dari trakea yaitu setinggi vertebra servikalis V, VI, VII dan vertebra torakalis I, dan secara bersamaan duktus tiroglosus akan hilang. Perkembangan selanjutnya tiroid bergabung dengan jaringan ultimobranchial body yang berasal dari branchial pouch V, dan membentuk C-cell atau sel parafolikuler dari kelenjar tiroid. Sekitar 75 % pada kelenjar tiroid ditemukan lobus piramidalis yang menonjol dari ismus ke kranial, ini merupakan sisa dari duktus tiroglosus bagian kaudal. Pada akhir minggu ke 7 – 10 kelenjar tiroid sudah mulai berfungsi, folikel pertama akan terisi koloid. Sejak saat itu fetus mulai mensekresikan Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH), dan sel parafolikuler pada fetus sementara belum aktif.
III.
Anatomi
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid. Tiroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel limfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular. Nodus Limfatikus tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3.Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak .
IV.
Histologi kelenjar Tyroid Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein thyroglobulin.
V.
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Kelenjar ini tersusun dari zat hasil sekresi bernama koloid yang tersimpan dalam folikel tertutup yang dibatasi oleh sel epitel kuboid. Koloid ini tersusun atas tiroglobulin yang akan dipecah menjadi hormon tiroid (T3 dan T4) oleh enzim endopeptidase. Kemudian hormon ini akan disekresikan ke sirkulasi darah untuk kemudian dapat berefek pada organ target. Mekanisme
sekresi
hormon
tiroid
sendiri
diatur
oleh
suatu
axis
hipothalamushipofisis-tiroid. Hipotalamus akan mensekresikan Thyroid Releasing Hormon (TRH) yang akan merangsang hipofisis untuk mengeluarkan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Kemudian TSH merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid. Hormon tiroid terutama dalam bentuk T3 dan T4. Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid Ada 7 tahap, yaitu: 1. Trapping Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian basal sel folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy dependent dan membutuhkan ATP. Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam serum darah. Pompa Na/K yang menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh TSH. 2. Oksidasi Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase. Bentuk aktif ini adalah iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan residu tirosin membentuk monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin (proses iodinasi). Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh kadar iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi kadar iodium intrasel maka akan makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di intra sel, iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan lebih banyak daripada T4. 3. Coupling
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga akan membentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin. Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid melalui proses eksositosis granula.
4. Penimbunan (storage) Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan apabila ada stimulasi TSH. 5. Deiodinasi Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian iodium. 6. Proteolisis TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta deiodinasi MIT dan DIT. 7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing) Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin (TBPA). Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25% dari T3 total yang berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar hormon bebas. Namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit kronik cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah protein pembawa yang meningkat. Sebaliknya pada seorang lansia yang menderita pemyakit ginjal dan hati yang kronik maka kadar protein binding akan berkurang sehingga kadar T3 dan T4 bebas akan meningkat.
VI.
Metabolisme T3 dan T4 Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler.
VII.
Pengaturan Faal Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : 1.
TRH (Thyrotrophin releasing hormone) Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi. 2.
TSH (thyroid stimulating hormone) Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat. 3.
Umpan Balik sekresi hormon (negative ) Kedua hormon (T3 dan T4) ini mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TSH. 4.
Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid Efek metabolisme Hormon Tyroid : 1. Kalorigenik
2. Termoregulasi 3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik 4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat. 5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat. 6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia. 7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
VIII.
Klasifikasi Struma Menurut American society for Study of Goiter membagi: 1. Struma Non Toxic Diffusa: dapat disebabkan oleh defisiensi Iodium, Autoimmun thyroiditis (Hashimoto atau postpartum thyroiditis), kelebihan iodium (efek WolffChaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid, stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin, Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid, terpapar radiasi, penyakit deposisi, resistensi hormon tiroid, Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis), Silent thyroiditis, agen-agen infeksi, Suppuratif Akut (bacterial), Kronik (mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasite), keganasan Tiroid. 2. Struma Non Toxic Nodusa: pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium.
3. Stuma Toxic Diffusa: Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya. 4. Struma Toxic Nodusa: Disebabkan oleh defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4, aktivasi reseptor TSH, mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G, mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
IX.
Struma Nodusa Non Toxic Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.
Etiologi
Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada defisiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism. 2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun 3. Goitrogen: a. Obat:
Propylthiouracil,
litium,
phenylbutazone,
aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium b. Agen lingkungan: Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara. c. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar. 4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid 5. Riwayat radiasi kepala dan leher: Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
Patofisiologi Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen. Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.
Klasifikasi Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal : 1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa. 2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif: nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas. 3. Berdasarkan konsistensinya: nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Manifestasi klinis Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis
karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau. Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium.
Diagnosis Anamnesa dilakukan untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai: A. Inspeksi Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. hiperemis, adanya gambaran seperti kulit jeruk, ulserasi. B. Palpasi Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita. Yang diperiksa adalah jumlah nodul, konsistensi, nyeri pada penekanan : ada atau tidak, pembesaran gelenjar getah bening, ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter), mobilitas, infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar, apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi : 1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
Batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi : 1. Eutiroid
2. Hipotiroid 3. Hipertiroid Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi : 1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid 2. Toksik : Hipertiroid Pemeriksaan Fisik : Status Generalis : 1. Tekanan darah meningkat 2. Nadi meningkat 3. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus 5. Jantung : Takikardi Status Lokalis : 1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid Bawah : incisura jugularis Medial : garis tengah leher Lateral : M. Sternokleidomastoideu
Pada palpasi harus diperhatikan :
o
lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
o
ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
o
konsistensi
o
mobilitas
o
infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o
apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya. Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi : 1. Tes Fungsi Hormon Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida. 2. Foto Rontgen leher Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea (jalan nafas). 3. Pemeriksaan sidik tiroid Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi
Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk: a. nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya. b. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih. c. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain. 4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainankelainan yang dapat didiagnosis dengan USG: kista, adenoma, kemungkinan karsinoma, tiroiditis 5. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA) Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul . Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
6. Termografi Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila <>o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain. 7. Petanda Tumor Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Diagnosis Banding 1. Follicular Thyroid Carcinoma 2. Hashimoto Thyroiditis 3. Medullary Thyroid Carcinoma 4. Papillary Thyroid Carcinoma 5. Riedel Thyroiditis 6. Subacute Thyroiditis 7. Thyroid Lymphoma 8. Thyroid Nodule
Penatalaksanaan 1. Operasi Sebagian besar gejala pasien ini disebabkan oleh gondok membesar tanpa bukti hipertiroidisme biokimia. Pada pasien usia lanjut dengan struma nodusa non toksik, observasi tanpa pengobatan adalah salah satu pilihan yang diterima. Namun, dalam kasus riwayat gondok yang semakin membesar, perhatian dan perlakuan khusus perlu dilakukan. Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening. Tiroidektomi aman, cepat mengurangi gejala penekanan, dan meningkatkan fungsi pernafasan.
Komplikasi
tiroidektomi
seperti
cedera
saraf
laring
atau
hipoparatiroidisme yang sangat rendah. Hipotiroidisme pasca operasi dapat dengan mudah dikelola dengan penggantian T4. Namun, pasien orang tua dengan beberapa kondisi komorbiditas berisiko tinggi untuk dilakukan pembedahan dan harus dipertimbangkan alternatif non-bedah.
2. Radioiodida Pengobatan yodium radioaktif (RAI) pada pasien dengan struma nodusa non toksik telah menunjukkan gejala membaik serta perbaikan fungsi paru karena pengurangan volume substansial gondok. RAI paling efektif untuk gondok ukuran
kecil - moderat dan alternatif yang baik selain tiroidektomi pada pasien yang sebelumnya dirawat dengan operasi, bagi mereka yang menolak operasi, atau pasien dengan kondisi yang meningkatkan risiko untuk perawatan bedah. RAI sering mengakibatkan pengurangan signifikan volume tiroid dalam satu tahun, dengan sekitar 60% penurunan volume dalam 5 tahun. Tingkat respon bisa sangat bervariasi, dan 20% mungkin tidak merespon sama sekali. Tampaknya gondok yang sangat besar (> 100mL) tidak merespon. Efek samping awal RAI termasuk peningkatan akut dalam ukuran gondok, tiroiditis radiasi, atau hipertiroidisme.
3. Tiroksin (T4) Terapi penekanan T4 tidak dianjurkan untuk struma nodusa non toksik berukuran besar. Tampaknya tidak efektif dalam pengurangan gondok yang signifikan pada kebanyakan pasien serta menyebabkan efek samping. Dampak buruk yang disebabkan oleh penekanan TSH termasuk kehilangan tulang dan fibrilasi atrium. Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel. Preparat : Thyrax tablet Dosis : 3x75 Ug/hari p.o Komplikasi Komplikasi dari penyakit struma nodusa non toksik terjadi karena pertumbuhan dan kompresi struktur leher dan tirotoksikosis.
Prognosis Prognosis baik, biasanya struma nodusa non toksik tumbuh sangat lambat selama bertahun-tahun. Jika pertumbuhan cepat harus dievaluasi baik untuk degenerasi atau perdarahan dari nodul atau untuk pertumbuhan neoplasma. Seringkali, pada pasien yang dengan pertumbuhan gondok progresif, yang mengalami disfagia signifikan atau dyspnea harus dievaluasi untuk tiroidektomi subtotal. Pada beberapa pasien, terapi yodium radioaktif dapat dipertimbangkan, terutama jika pasien yang lebih tua.
DAFTAR PUSTAKA
1.
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta
2.
Sudoyo AW, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V. Interna Publishing. Jakarta
3.
Lee,
Stephanie
L.,
2013.
Non
Toxic
Goiter.
http://emedicine.medscape.com/article/120392-overview 4.
Mansjoer A et al (editor). 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Edisi III. Media Esculapius. FKUI: Jakarta
5.
Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill., Newyork.
6.
Smyth, Peter et al. 2011. Guidelines for the Diagnosis and Management of Thyroid Nodules. Merck KGaA, Darmstadt:
7.
Lee,
Stephanie
L.,
2004.,
Goiter,
Non
Toxic.,
eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm 8.
Mulinda,
James
R.,
2005.,
http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
Goiter.,
eMedicine.,