Solusi Kami Untuk Penyakit Kronis BPJS Kesehatan dan Masalah Indikator Kesehatan di Indonesia As’ad dan Raihan binti Rastum Calon Suami-Istri atau Minimal Sejoli Sampai Mati
Masalah Dasar Defisit BPJS Kesehatan Pemerintahan Joko Widodo, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, menargetkan ketercapaian Universal Health Coverage (UHC) Indonesia sebesar 95% pada akhir masa pemerintahannya, tahun 2019 (Bappenas, 2015). Namun pada kenyataannya, per November 2018, pencapaian UHC Indonesia baru sebesar 77.39% atau mencakup 205 juta jiwa lebih penduduk (BPJS Kesehatan, 2018). Walaupun memang terjadi peningkatan dibandingkan UHC Indonesia periode sebelumnya (Gambar 1), namun angka tersebut pada kenyataannya masih jauh dari target awal dan bahkan memunculkan masalahmasalah baru seperti defisit Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan. Oleh karena itu, pada esai ini kami akan fokus dalam membahas masalah defisit BPJS Kesehatan dan rekomendasi yang mungkin dapat membantu penyelesaiannya.
Gambar 1. Data Peserta dan Defisit BPJS Kesehatan 2014-2018, Sumber: BPJS Kesehatan (diolah oleh Tirto.id)
Masalah defisit BPJS Kesehatan sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, sebab bahkan sejak awal pendiriannya, BPJS Kesehatan, telah mengalami defisit dikarenakan pendapatan iuran yang selalu lebih rendah daripada beban klaim (operasional). Tentu melihat keadaan tersebut pemerintah tidak tinggal diam, namun solusi yang ditawarkan pemerintah pada Peraturan Presiden (perpres) No. 82 tahun 2018, yang mengamini penggunaan cukai rokok untuk mendanai defisit BPJS, telah menimbulkan perdebatan di masyarakat umum. Bukan tanpa sebab, kontroversi tersebut muncul karena fakta bahwa penyakit utama yang ditanggung
oleh BPJS adalah penyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok (Tim Kajian FKM UI dan Kastrat BEM FKM UI, 2018). Padahal, apabila kita mengkaji lebih lanjut, sebenarnya masalah defisit BPJS Kesehatan itu timbul karena pendekatan pelayanannya yang masih bersifat kuratif sehingga menimbulkan moral hazard pada pesertanya. Moral hazard sendiri adalah sifat yang ada pada setiap pelaku ekonomi ketika mereka merasa mendapatkan suatu proteksi/jaminan dalam melakukan tindakan yang merugikan secara ekonomi. Jadi apabila solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan menggunakan cukai rokok untuk membiayai defisit, kami berpikir bahwa pemerintah malah seakan-akan mendukung moral hazard tersebut daripada menutup celahnya.
Solusi Untuk Penyakit Kronis BPJS Kesehatan Kementerian Kesehatan baru-baru ini telah menerbitkan Peraturan Kementerian Kesehatan No. 51/2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional, yang intinya mencoba untuk mengurangi kemungkinan perilaku moral hazard dari para peserta JKN, khususnya untuk peserta mandiri dan penerima upah, dengan cara mengenakan biaya tambahan untuk setiap layanan kesehatan yang terhitung melebihi kapasitas pendanaan. Namun, kami merasa langkah tersebut belum cukup, karena masalah defisit BPJS Kesehatan sendiri sifatnya sudah kronis dan butuh tindak lanjut yang bersifat sistemik (Hidayat, 2016). Tindak lanjut tersebut, menurut Hidayat (2016), setidaknya meliputi, rasionalisasi harga, pelembagaan pengendalian, revisi nilai iuran, serta membangun manajemen kepesertaan yang lebih baik. Rasionalisasi harga adalah langkah intervensi yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan pemerintah, salah satu caranya cukup dengan melakukan penyesuaian beban klaim (kontrol harga) dengan pendapatan iuran. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, dapat merevisi aturan mengenai tanggungan fasilitas kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Namun, intervensi semacam itu mungkin saja dapat menghasilkan paradigma baru bahwa fasilitas kesehatan dari BPJS sifatnya inferior, tentu hal tersebut berbanding terbalik dengan cita-cita awal pemerintah untuk mencapai UHC sebesar 95% pada tahun 2019. Selain itu, rasionalisasi harga juga dapat dilakukan dengan cara mencegah praktikpraktik moral hazard yang mungkin timbul dari program BPJS. Praktik moral hazard tersebut biasanya akan timbul dalam bentuk over-financing atau utilisasi abnormal dari pengguna
layanan BPJS. Utilisasi abnormal tersebut terjadi karena tindakan indirect fraud dari penyedia layanan kesehatan, yang sekaligus berperan menjadi konsultan kesehatan, dalam bentuk pemberian saran terhadap peserta BPJS yang ingin melakukan klaim manfaat untuk melakukan klaim manfaat yang melebihi kebutuhan fasilitas kesehatan normal peserta (Blomqvist, 1991). Langkah pencegahan utilisasi abnormal tersebut sebenarnya telah dilakukan Kemenkes dengan menerbitkan Peraturan Kementerian Kesehatan No. 51/2018, namun seperti yang telah kami nyatakan di awal, langkah tersebut belum cukup untuk menyelesaikan masalah struktural dari defisit BPJS. Pendekatan yang masih bersifat kuratif, menurut kami, tidak dapat menyelesaikan masalah ketimpangan beban klaim dengan pendapatan iuran. Oleh karena itu, kami berpikir bahwa cara pandang terhadap penyediaan layanan kesehatan juga harus dirombak total. Sederhananya, apabila informasi mengenai kesehatan peserta secara mutlak dimiliki oleh konsultan kesehatan, maka permintaan terhadap penyediaan fasilitas kesehatan tersebut dapat dilakukan secara artifisial atau biasa disebut sebagai Supplier Induced Demand (SID). Oleh karena itu, langkah pencegahan yang ditawarkan oleh Peraturan Kementerian Kesehatan No. 51/2018 ujungnya malah akan merugikan peserta dan membuat mereka tidak tertarik untuk menggunakan fasilitas JKN. Kami merasa pemerintah perlu melakukan pendekatan edukatif dan persuasif terhadap peserta mengenai cara mengukur kebutuhan fasilitas kesehatan mereka (mencegah utilisasi abnormal) dan tindakan-tindakan yang dapat mengajak peserta layanan BPJS untuk menjalankan pola hidup sehat (tindakan preventif). Selain itu, pemerintah perlu untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaran fasilitas kesehatan oleh penyedia layanan kesehatan untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak bertanggungjawab seperti SID. Bukan tanpa alasan, menurut kalkulasi dari Hidayat (2016), setidaknya dengan melakukan pengendalian terhadap tindakan-tindakan SID penyedia layanan kesehatan, pemerintah dapat, setidaknya, melakukan efisiensi anggaran sekitar 13% dari total klaim. Langkah tersebut telah dilakukan oleh Jerman dengan cara melakukan audit medis terhadap sampel, minimal 10% dari klaim Diagnostic Related Groups (DRGs), dengan metode random sampling. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah, misalnya dengan membuat sistem big data terintegrasi dengan algoritma khusus yang akan membaca setiap kemungkinan fraud dari klaim DRGs penyedia layanan kesehatan, inilah yang dimaksud dengan pelembagaan pengendalian (making an symmetric of information).
Dua intervensi sistemik di awal adalah intervensi yang berfokus pada struktur beban. Tentu kita harus mengakui bahwa masalah dari defisit BPJS Kesehatan bukan hanya timbul karena adanya masalah pada struktur beban, melainkan juga terdapat masalah pada struktur pendapatan. Mengulas kembali argumen yang ditawarkan oleh Hidayat (2016), maka kami sepakat bahwa pemerintah perlu melakukan revisi nilai iuran dan membangun manajemen kepesertaan BPJS yang lebih baik. Meminjam cara pandang Hidayat (2016), pada intinya pemerintah perlu untuk melakukan revisi terkait aturan mengenai iuran BPJS, sebab peraturan yang sekarang ada masih menggunakan nilai iuran yang tidak ideal (secara financing risk akan selalu berada pada kondisi beban klaim > pendapatan iuran). Revisi iuran tersebut tentu tetap harus dilakukan dengan melihat perilaku konsumen di pasar dan produk-produk substitusi yang ada. Selain itu, segmen pasar dari BPJS Kesehatan harus lebih diperjelas lagi. Penetapan BPJS Kesehatan sebagai asuransi yang wajib dimiliki oleh masyarakat Indonesia akan membuat mekanisme insentif dan disinsentif tidak berjalan dengan baik. Kami merasa bahwa apabila tujuan yang ingin dicapai pemerintah adalah pencapaian UHC 95%, maka langkah yang dapat ditempuh tidak hanya melalui BPJS Kesehatan. Dalam hal ini kami sepakat dengan ide dari Hidayat (2016), dimana pemerintah seharusnya menekankan bahwa kepemilikan BPJS adalah suatu “kebutuhan” daripada “kewajiban”.
Solusi Untuk Penyakit Kronis Indikator Kesehatan Apabila diperhatikan dengan seksama, tampaknya memang argumen yang kami tawarkan terkesan hanya mengelaborasi argumen dari Hidayat (2016). Pada dasarnya kami sepakat dengan yang disampaikan oleh Bapak Hidayat, tetapi tidak untuk semua poin. Kami memiliki pandangan lain mengenai pemberlakuan mekanisme pasar dalam implementasi kebijakan health care massal. Kami sepakat mekanisme pasar tidak dapat berjalan dengan baik dalam kondisi pasar yang memiliki asymmetric information cukup tinggi seperti pasar kesehatan. Namun, kami tidak sepakat ketika kondisi tersebut dinyatakan sebagai pembuktian bahwa mekanisme pasar tidak dapat sama sekali berjalan pada pasar kesehatan. Kami memiliki gagasan lain terkait strategi untuk mencapai target UHC 95%, tentunya dengan melakukan penyesuaian terhadap mekanisme pasar, yaitu dengan cara memberikan sejenis kupon untuk masyarakat marjinal agar mereka dapat memilih sendiri pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan (Friedman, 1962). Besaran kupon ditentukan oleh pemerintah
dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis terkait pelayanan kesehatan. Tentu aspekaspek teknis tersebut tidak sulit untuk dirumuskan, apalagi dengan ketersediaan data dalam jumlah besar dari penyelenggaraan BPJS yang sedang berjalan. Tentu dengan begitu perencanaan pendanaan akan lebih baik sebab besaran subsidi kupon dapat diukur dengan menyesuaikan kebutuhan anggaran untuk sektor lain dan kondisi ekonomi nasional (kapasitas fiskal). Untuk permasalahan terkait SID, pemberian kupon kesehatan menurut kami adalah langkah yang solutif. Logikanya, ketika kupon kesehatan yang diberikan jumlahnya terbatas, maka tindakan curang yang dilakukan oleh konsultan kesehatan pun seharusnya juga akan terbatas. Alasannya adalah, pengguna layanan kesehatan berbasis kupon, dalam hal ini kaum marjinal, tentu akan melakukan evaluasi anggaran dan kebutuhan fasilitas kesehatan secara berkala dengan mempertimbangkan banyak pilihan fasilitas kesehatan (jika satu penyelenggara kesehatan dirasa melakukan kecurangan dan merugikan mereka, maka mereka dapat mencari penyelenggara kesehatan lain). Di situlah mekanisme pasar akan berjalan dengan baik (we give the power, so market mechanism can still alive). Namun tentu akan muncul kritik terhadap ide kami, sebab bagaiman bisa kami memastikan bahwa pengguna layanan kesehatan dari kaum marjinal menetapkan pilihan dengan rasional (seperti yang diagung-agungkan teori ekonomi)? Untuk meminimalisir masalah tersebut, kami merasa pemerintah memiliki tanggungjawab moral untuk menyediakan pos anggaran khusus untuk sosialisasi penggunaan kupon kesehatan dengan bijak. Tentu langkah tersebut tidak akan 100% menyelesaikan masalah asymmetric information pada pasar kesehatan, tetapi kami yakin langkah itu dapat meminimalisir tindakan-tindakan fraud yang dapat menyebabkan pemborosan anggaran. Perlu diingat bahwa kami tidak merasa gagasan kami adalah yang paling tepat dan optimal dalam mencapai target UHC 95%, namun setidaknya kami merasa gagasan tersebut masih memiliki ruang untuk diuji secara empiris. Pengujian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui seberapa efektif penggunaan kupon kesehatan dalam mencegah kebocoran anggaran di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar masyarakat di sisi lain.
Kesimpulan Masalah defisit BPJS Kesehatan adalah masalah yang sangat kompleks, sebab dari awal berdirinya BPJS Kesehatan, lembaga tersebut secara konsisten selalu mengalami defisit. Menurut Hidayat (2016), masalah BPJS Kesehatan adalah sebuah penyakit kronis yang
membutuhkan terapi sistemik untuk penyelesaiannya. Terapi sistemik tersebut setidaknya meliputi intervensi pada 4 titik, yaitu rasionalisasi harga, pelembagaan pengendalian, revisi iuran, dan manajemen kepesertaan yang lebih baik. Bapak Hidayat juga memandang bahwa perlu ada perubahan cara pandang terhadap posisi masyarakat dalam pemanfaatan BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya tidak memposisikan BPJS Kesehatan sebagai suatu “kewajiban”, tetapi harus lebih ditekankan bahwa BPJS Kesehatan adalah sebuah “kebutuhan”. Tentu untuk mengubah paradigma tersebut dibutuhkan langkah-langkah lebih lanjut dari pihak pemerintah. Kami sepakat dengan ide Bapak Hidayat tersebut, walaupun tidak untuk semua poin. Apabila Bapak Hidayat masih memandang bahwa BPJS Kesehatan dibutuhkan, kami berpikir sebaliknya, di mana kami rasa pemerintah bisa menawarkan alternatif lain yang memberikan kebebasan pilihan lebih jauh kepada masyarakat marjinal. Ide yang kami tawarkan terinspirasi dari pemikiran ekonomi liberal ala Milton Friedman (1962), di mana kami merasa seharusnya pemerintah hanya menyediakan dana dalam bentuk kupon, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dasar kesehatan dari hasil pengukuran-pengukuran teknis, untuk pada akhirnya dimanfaatkan oleh masyarkat yang membutuhkan untuk menikmati pelayanan kesehatan. Kami menyadari bahwa ide kami lemah karena masih menggunakan asumsi dasar dalam teori ekonomi, di mana manusia dianggap sebagai makhluk yang rasional. Untuk meminimalisir kemungkinan dari perilaku yang tidak rasional tersebut solusi yang dapat kami tawarkan adalah mendorong pemerintah untuk menjalankan tanggungjawab moral dalam melakukan sosialisasi mengenai penggunaan kupon kesehatan tersebut dengan bijak. Tentu kami sama sekali tidak merasa bahwa ide kami sudah sangat sempurna untuk menjawab permasalah kesehatan secara umum di Indonesia, namun kami juga merasa bahwa tidak ada salahnya apabila ide kami diimplementasikan oleh pemerintah, tentu dengan pengembangan dan penyesuaian lebih lanjut. Pengujian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui seberapa efektif penggunaan kupon kesehatan dalam mencegah kebocoran anggaran di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar masyarakat di sisi lain.
DAFTAR PUSTAKA Bappenas. (2015). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (rpjmn) 2015-2019. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Blomqvist, Å. (1991). The doctor as double agent: Information asymmetry, health insurance, and medical care. Journal of Health Economics. https://doi.org/10.1016/01676296(91)90023-G BPJS Kesehatan. (2018). Data Peserta BPJS Kesehatan. https://doi.org/10.1093/icb/ict089 Friedman, M. (1962). Capitalism and Freedom: The Relation Between Economic Freedom and Political Freedom. In Capitalism and Freedom. Hidayat, B. (2016). Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi Bagi Semua Pihak. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia. Tim Kajian FKM UI dan Kastrat BEM IM FKM UI. (2018). Universal Health Coverage (UHC) Indonesia 2019: Akankah Menjadi Angan-Angan Saja?. BEM IM FKM UI. https://drive.google.com/file/d/1I8HPs7y9yBKejHPRj7AE16Ml7GpXIBqu/view