LAPORAN PENDAHULUAN MIELITIS
DISUSUN OLEH SITI KOMARIYAH
1811040001
HIDYATI DIANA PERTIWI
1811040006
AULIYA ROCHMATUL UMAH
1811040015
ROFIK JULIANTO
1811040099
TATIK WAHYU ISTIKOMAH
1811040007
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2018/2019
MIELITIS 1.
DEFINISI Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh peradangan di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum tulang belakang. Istilah myelitis mengacu pada radang sumsum tulang belakang; transversal hanya menggambarkan posisi peradangan, yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan peradangan bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf. Ini menyebabkan kerusakan sistem saraf yang mengganggu impuls antara saraf-saraf di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh. Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior. Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan.
2.
Etiologi Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik.
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks, sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan Mycoplasma pneumonia. MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES yang aktif5.
2.3.4 Patogenesis Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam sumsum tulang belakang Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal (kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi sebagai akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung, atau baru saja menjalani operasi dada atau abdominal.
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi MT9.
MTA Parainfeksi Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9.
Mimikri molekuler Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat
terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.
Microbial superantigen-mediated inflammation Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah aktivasi9. Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.
Abnormalitas Humoral Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-elemen
seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.
2.3.5 Gambaran klinis Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan. Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang muncul: (1) kelemahan kaki dan tangan, (2) nyeri, (3) perubahan sensorik, dan (4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih. Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka, beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari biasanya. Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda. Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.
Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau dingin. Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6 Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia, kesulitan buang air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang dengan myelitis transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.
2.3.6 Perjalanan penyakit Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas. Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan kandung kemih. Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya gejala yang timbul. 2.3.7 Diagnosa Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua lengan. Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel. Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah. Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
MRI Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.
CT-myelografi Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural, CTmyelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.
Punksi Lumbal Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.
Kultur CSF, PCR, titer antibodi Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.
Pemeriksaan Lainnya Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2glikoprotein, dan level komplemen.
Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Kemungkinan Penyebab Infeksi
Pemeriksaan Penunjang Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR
CSF;
Foto
Thorax
dan
pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi
Autoimun
Sistemik
atau
Penyakit Pemeriksaan
Inflamasi
Fisik;
pemeriksaan
serologi; Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi
Paraneoplastik
Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi paraneoplastik serum dan CSF
Acquired CNS Demyelinating Disease MRI otak dengan kontras gadolinium; (sklerosis multiple, optic neuromielitis)
CSF rutin; pemeriksaan visual evoked potential; serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi
Anamnesis vaksinasi serologi
riwayat
infeksi
sebelumnya; adanya
infeksi;
dan
konfirmasi eksklusi
penyebab lain (Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New England Journal of Medicine 2010;363:564-72)
2.3.9 Penatalaksanaan Immunoterapi inisial Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn
dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral. Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8. Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini8. Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demyelinisasi,
imunomodulator
long-acting
atau
terapi
imunosupressan
menunjukkan
pengurangan risiko serangan berulang. Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
Respirasi dan Oropharyngeal Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak8.
Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus. Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.
Abnormalitas Tonus Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis. Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.
Nyeri Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8.
Malaise Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.
Disfungsi Usus dan Genitourinari Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis (trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam). Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan. Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia.
Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.
2.3. 10 Prognosis Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan pemulihan fungsi neuroya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi6.
Menurut Plum dan Olsen Banister mielitis adalah terminologi nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan Victor menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba. Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis dibedakan atas : 1. Akut : Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari saja. 2. Sub Akut : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu. 3. Kronik : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.
Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai substansia
alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa. Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis (meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma. Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.
ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN Pengkajian pada meliputi: 1. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal 2. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat 3. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik hilang 4. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, 5. gelisah dan menarik diri 6. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang 7. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL 8. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, 9. Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil 10. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan Mengalami deformitas pada daerah trauma 11. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis 12. Keamanan : suhu yang naik turun
DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri akut b/d Agen Cedera 2. Gangguan mobilitas fisik b/d Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler 3. Resiko kerusakan integritas kulit
4. Deficit pengetahuan b/d keterbatasan informasi mengenai penyakit
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan
Gangguan mobilitas fisik Berhubungan dengan : - Gangguan metabolisme sel - Keterlembatan perkembangan - Pengobatan - Kurang lingkungan - Keterbatasan ketahan kardiovaskuler - Kehilangan integritas struktur tulang - Terapi pembatasan gerak - Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan fisik - Indeks massa tubuh diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia - Kerusakan persepsi sensori - Tidak nyaman, nyeri - Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler - Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC : t Movement : Active Mobility Level Self care : ADLs Transfer performance Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil: Klien meningkat dalam aktivitas fisik Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC : Exercise therapy : ambulation Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
- Depresi mood atau cemas - Kerusakan kognitif - Penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau masa - Keengganan untuk memulai gerak - Gaya hidup yang menetap, tidak digunakan, deconditioning - Malnutrisi selektif atau umum DO: - Penurunan waktu reaksi - Kesulitan merubah posisi - Perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek) - Keterbatasan motorik kasar dan halus - Keterbatasan ROM - Gerakan disertai nafas pendek atau tremor - Ketidak stabilan posisi selama melakukan ADL - Gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi
Diagnosa Keperawatan
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan: Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan DS: - Laporan secara verbal DO: - Posisi untuk menahan nyeri - Tingkah laku berhati-hati - Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai) - Terfokus pada diri sendiri - Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) - Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) - Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) - Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) - Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) - Perubahan dalam nafsu makan dan minum
NOC : Pain Level, pain control, comfort level Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama …. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Tanda vital dalam rentang normal Tidak mengalami gangguan tidur
NIC : Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... Tingkatkan istirahat Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Risiko gangguan integritas kulit Faktor-faktor risiko: Eksternal : - Hipertermia atau hipotermia - Substansi kimia - Kelembaban udara - Faktor mekanik (misalnya : alat yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint) - Immobilitas fisik - Radiasi - Usia yang ekstrim - Kelembaban kulit - Obat-obatan - Ekskresi dan sekresi Internal : - Perubahan status metabolik - Tulang menonjol - Defisit imunologi - Berhubungan dengan dengan perkembangan - Perubahan sensasi - Perubahan status nutrisi (obesitas, kekurusan) - Perubahan pigmentasi - Perubahan sirkulasi - Perubahan turgor (elastisitas kulit) - Psikogenik
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC : - Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes - Status Nutrisi - Tissue Perfusion:perifer - Dialiysis Access Integrity
NIC : Pressure Management Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar Hindari kerutan padaa tempat tidur Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali Monitor kulit akan adanya kemerahan Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien Monitor status nutrisi pasien Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat Gunakan pengkajian risiko untuk memonitor faktor risiko pasien (Braden Scale, Skala Norton) Inspeksi kulit terutama pada tulangtulang yang menonjol dan titik-titik tekanan ketika merubah posisi pasien. Jaga kebersihan alat tenun Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein, mineral dan vitamin Monitor serum albumin dan transferin
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…. Gangguan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil: Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami Status nutrisi adekuat Sensasi dan warna kulit normal
DAFTAR PUSTAKA
1. Christine
Weile.
2009.
Acute
Poliomyelitis.
Available
from
:
http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm. 2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013. Available
from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/transver se_myelitis/about-tm/diagnosis.html 3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013. Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-andrina1.pdf 4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available
from: http://jani-orthoprost.com/mielitis.html 5. Johnson
et
all.
2001.
Transverse
Myelitis.Available
from
:
http://www.idoub.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-withfigures?secret_=&autodown=pdf 6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact Sheet
Available
from
:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.htm 7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare Professionals.
2008.
Acute
transverse
myelitis.
Available
from
:
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html 8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 . Jakarta. 9. Victor and Adam. 2005. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th Edition. McGraw-
Hill.