ANALISIS MODEL KONSEP KEPERAWATAN JIWA (MODEL TERAPI IF) DARI WERMON DAN ROCKLAND
SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH ILMU KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA Dosen Pengampuh: Ns. Retno Lestari, M. Nurs
Oleh Kelompok IV Ni Made Candra Yundarini
(166070300111036)
Made Bayu Oka Widiarta
(166070300111038)
Yabani Azmi
(166070300111040)
Anindya Arum Cempaka
(166070300111042)
Maria Paulina Dafrosa Pili
(166070300111046)
PROGAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2017 KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya kelompok kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini, kami membahas mengenai “analisis kasus berdasarkan model konsep terapi if dari Wermon dan Rockland”. Tugas ini disusun untuk memenuhi penugasan pada mata kuliah Ilmu Keperawatan Kesehatan Jiwa. Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ns. Retno Lestari, M.Nurs., selaku dosen pengampuh mata kuliah Ilmu Keperawatan Kesehatan Jiwa, yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan usul dan saran dalam penyusunan makalah ini. 2. Teman-teman seperjuangan kelompok 4 Program Studi Magister Keperawatan 2016, yang dengan caranya masing-masing telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. 3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu yang turut membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, baik dalam isi maupun sistematikanya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dapat menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, kami mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami sendiri pada khususnya. Malang, 6 Maret 2017 Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan sejahtera, dimana individu menyadari segala potensi yang dimiliki, menggunakan koping yang tepat untuk menghadapi stresor, bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi pada komunitasnya. Individu dengan kesehatan mental yang baik akan memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional, dapat berkomunikasi dengan baik, memiliki keinginan belajar, berkembang secara emosional, memiliki daya tahan yang baik, dan memiliki harga diri . The American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan gangguan mental sebagai suatu sindrom dengan karakteristik khas yang mencerminkan adanya disfungsi pada mental seseorang. Karakteristik khas yang dimaksud antara lain, gangguan pada kognisi, regulasi emosi, serta adanya penyimpangan dalam perilaku seseorang . Diperkirakan sekitar satu dari tiga orang penduduk Amerika akan mengalami suatu bentuk gangguan mental pada satu titik dalam kehidupannya . The National Institute of Mental Health memperkirakan terdapat lebih dari 26% penduduk Amerika dalam rentang usia 18 tahun keatas memiliki gangguan mental yang terdiagnosa (NIMH, 2008 dalam Videbeck, 2011). Pada penanganan pasien dengan gangguan jiwa, perawat memiliki peranan penting dalam melakukan tindakan yang dapat membantu klien memenuhi kebutuhannya dalam aspek klinis serta psikososial . Keperawatan jiwa adalah suatu proses interpersonal untuk mendorong dan mempertahankan perilaku klien sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan seharihari . Hal ini mencakup diagnosis dan perawatan pada manusia sebagai respon dari permasalahan kesehatan mental yang aktual maupun yang masih tergolong potensial . Menurut APA (2007) dalam Stuart (2012), keperawatan jiwa merupakan area praktik keperawatan khusus yang bertujuan untuk memajukan kesehatan jiwa melalui pengkajian, diagnosis, dan tindakan keperawatan pada klien untuk menanggulangi masalah kesehatan jiwa. Hubungan terapeutik dalam proses keperawatan jiwa berfokus pada kebutuhan, pengalaman, perasaan, serta
pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh klien. Dalam hal ini kemampuan komunikasi, kekuatan personal, pemahaman mengenai perilaku manusia berperan penting saat interaksi antara perawat dengan klien (Videbeck, 2011). Dalam praktik keperawatan jiwa, dikenal beberapa model konseptual yang dapat diaplikasikan untuk menangani pasien dengan gangguan jiwa. Model konseptual ini diterapkan sebagai suatu metode pendekatan perawat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pasien. Model konseptual keperawatan jiwa antara lain model psikoanalisa, model interpersonal, model sosial, model eksistensial, model terapi if, model medikal, model keperawatan, model komunikasi, model teori kognitif, model teori moral, serta model adaptasi stres Stuart. Dari beberapa model konseptual tersebut, yang banyak diterapkan untuk menangani pasien gangguan jiwa salah satunya adalah model terapi if. Model terapi if digunakan dalam memenuhi kebutuhan pasien untuk mendapatkan empati dan untuk dipahami oleh orang lain. Hal ini dilakukan perawat dengan mendorong pasien untuk mengidentifikasi dan mendiskusikan perasaannya, menjadi pendengar yang baik bagi pasien, serta menegaskan bahwa pasien merupakan seseorang yang berharga . Terapi if berfokus untuk meningkatkan harga diri dan kemampuan adaptasi seseorang, serta mengidentifikasi perilakunya dengan menggali pola interpersonal pasien tersebut (Woller et al, 1996 dalam Britneff & Winkley, 2013). Penerapan model terapi if ini dapat dilakukan salah satunya pada pasien dengan harga diri rendah. Harga diri rendah merupakan salah satu efek dari skizofrenia yang diderita pasien. Dalam studi literatur yang dilakukan oleh Gerlinger, et al , terdapat presentase sebanyak 49,2% pasien merasa malu atas dirinya dan 35,2% pasien yang telah mengalami penurunan harga diri. Hal ini menyebabkan terganggunya kemampuan pasien dalam berinteraksi denagn orang lain dan lingkungannya. Pasien yang mengalami hal ini umumnya tampak kurang percaya diri, merasa aneh atau berbeda dari orang lain, serta merasa bahwa dirinya tidak berharga. Pasien dengan harga diri rendah dengan karakteristik tersebut cenderung untuk menghindari kontak dengan orang lain . Pernyataan tersebut menunjukkan pentingnya penerapan terapi yang tepat untuk mengatasi permasalahan harga diri rendah pada pasien. Model terapi if sebagai salah satu model konseptual
keperawatan jiwa dirasa sesuai untuk diterapkan dalam penanganan pasien dengan gangguan tersebut. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penerapan model terapi if pada pasien dengan harga diri rendah. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Untuk mengetahui gambaran konsep model terapi if keperawatan 1.2.2
jiwa Untuk mengetahui penerapan konsep model terapi if keperawatan
1.2.3
jiwa dalam penanganan pasien dengan harga diri rendah Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penerapan konsep model
1.2.4
terapi if keperawatan jiwa Dapat memberikan saran perbaikan untuk model terapi if dalam keperawatan jiwa
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Gambaran Umum Model Terapi if
Terapi if adalah suatu cara psikoterapi yang banyak digunakan di rumah sakit dan masyarakat berbasis perawatan psikiatris. Model terapi Ini berbeda dari model-model lain karena dalam hal ini tidak tergantung pada konsep utama atau teori. Sebagai gantinya, ia menggunakan beberapa teori psikodinamik untuk memahami bagaimana perubahan pada seseorang. (Stuart & Laraia, 1998). Terapi if termasuk salah satu model psikoterapi yang biasanya sering digunakan di masyarakat dan di Rumah sakit. Terapi ini merupakan suatu terapi yang
dikembangkan
oleh
Lawrence
Rockland
(1989)
dengan
istilah
Psychodynamically Oriented Psychotherapy namun ada pula istilah lain yang diperkenalkan adalah ive Analytic Therapy (Rockland, 1989 dalam Holmes, 1995). Hasil survei di Amerika menunjukkan bahwa psikoterapi if menduduki peringkat ke delapan dalam psikoterapi yang penting (Langsey & Yager, 1988 dalam Holmes, 1995). Terapi if berfokus dalam memberikan dukungan pada klien yang sedang menderita suatu penyakit maupun menghadapai masalah maupun mendorong seorang klien pada suatu perubahan yang lebih baik (Varcarolis & Halter, 2010). Diharapkan dengan memberikan dukungan pada seorang klien yang sedang mengalami masalah akan meningkatkan koping individu klien tersebut untuk mampu menghadapi permasalah yang dialaminya. Karena dukungan dari orang disekitar dapat menjadi sumber koping bagi seseorang. Tujuan psikoterapi if seperti yang dijelaskan oleh Lawrence Rockland (1989) dalam Stuart & Laraia (1998) termasuk berikut: 1. Meningkatkan hubungan if antara klien-terapis 2. Meningkatkan kekuatan klien, kemampuan koping, dan kemampuan untuk menggunakan sumber daya koping 3. Mengurangi tekanan distress klien dan respon coping maladaptif 4. Membantu klien terbebas dari penyakit jiwa atau fisik tertentu 5. Memberikan otonomi kepada klien dalam mengambil keputusan terkait pengobatannya. Studi terkontrol telah menunjukkan terapi if efektif dalam mengobati skizofrenia, kondisi borderline,kecemasan, stres pasca trauma, dan gangguan penyalahgunaan zat, serta komponen psikologis penyakit fisik banyak. (Stuart & Laraia, 1998).
Klingberg et al (2010) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa terapi
if digunakan sebagai pendukung dari psikoterapi yang lain agar dapat mengendalikan elemen-elemen non spesifik dari kontak terapi. Hasil psikoterapi secara umumnya terdiri dari dampak-dampak spesifik dan non spesifik. Dampak non spesifik adalah dukungan emosional, perhatian terapis, pendengar yang empati, terapi yang optimal, dan hasil lain yang terkait dengan setiap keberhasilan hubungan interpersonal yang terapeutik. Tujuan utama terapi if adalah mengurangi stress dengan melakukan 5 prinsip intervensi, yaitu: 1) Mengangkat harga diri/dukungan internal; 2) Mengaktifkan dukungan eksternal; 3) Menasehati serta memberi saran/arahan; 4) Membantu memecahkan masalah yang ada; 5) Structuring. 2.2
Proses Model Terapi if Terapi if merupakan bentuk eklektik psikoterapi, yaitu, tidak
didasarkan pada teori tertentu psikopatologi. Sebaliknya, hal itu dapat menarik sesuai kebutuhan dari model lain dan dapat mengatasi gejala yang berbeda dengan metode terapi yang berbeda (Stuart & Laraia, 1998) Prinsip terapi if menurut Stuart & Laraia (1998) : 1. Bantuan langsung kepada klien, yang mungkin mencakup berbagai terapi
modalitas 2. Melibatkan keluarga dan keterlibatan dukungan sistem sosial 3. Fokus pada saat ini 4. Pengurangan Kecemasan melalui langkah-langkah dan pengobatan
jika diperlukan 5. Klarifikasi dan pemecahan masalah dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk saran, konfrontasi mendukung, pengaturan batas, pendidikan, dan perubahan lingkungan 6. Membantu klien untuk menghindari krisis di masa depan dan mencari bantuan awal ketika sedang stress Berdasarkan
pengembangan
dari
berbagai
aktfitas
system
enhancement yang dijelaskan oleh McCloskey dan Bubechek (1996, dalam Stuart Laraia, 1998) dan mutual group bagi klien menurut Chien, Chan, dan Thompson (2006) pelaksanaan terapi if dapat dilakukan dalam 4 sesi, yaitu: 1) Mengidentifikasi kemampuan klien dan sistem pendukung yang ada pada diri klien; 2) Menggunakan sistem pendukung yang ada dalam diri klien; 3)
Menggunakan sistem pendukung yang ada di luar diri klien; 4) Mengevaluasi hasil dan hambatan penggunaan sistem pendukung yang ada pada masing-masing klien. Berbagai aktifitas di dalam System Enhancement meliputi: 1. Mengakses respon psikologis 2. Menentukan jejaring sosial yang ada dan adekuat 3. Mengidentifikasi family (dukungan bagi keluarga) 4. Mengidentifikasi family financial (dukungan finansial bagi keluarga) 5. Menentukan system (sistem dukungan) yang biasa digunakan 6. Menentukan hambatan dalam menggunakan system 7. Memonitor situasi keluarga saat ini 8. Menganjurkan klien berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan masyarakat 9. Menganjurkan berinteraksi dengan orang lain yang sama-sama tertarik dan memiliki tujuan 10.Mengarahkan pada Self Help Group sebagai terapi yang dapat dilakukan secara mandiri. 11.Mengakses sumber masyarakat yang adekuat untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan 12.Mengarahkan pada masyarakat berdasarkan pada hal peningkatan, pencegahan, pengobatan, atau program rehabilitasi yang tepat 13. Menyediakan layanan perawatan dan cara yang if 14. Melibatkan keluarga, pihak lain, dan teman dalam hal perawatan dan perencanaan 15. Menjelaskan pada yang lain bagaimana cara mereka dapat membantu Menurut Chien, Chan & Thompson (2006) dalam memberikan terapi pada klien dan keluarga dengan klien gangguan jiwa, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Hubungan saling percaya 2. Memikirkan ide dan alternatif pemecahan masalah 3. Mendiskusikan area yang tabu (tukar pengalaman mengenai rahasia dan konflik internal secara psikologis) 4. Menghargai situasi yang sama dan bertindak bersama 5. Adanya sistem pendukung
6. Pemecahan masalah secara individu 2.3 Peran Perawat/Terapis dalam Penerapan Model Terapi if Mohlenkamp, 1999 dalam Klingberg (2010) menyatakan prinsip seorang terapis adalah; a) aktif, upaya empatik terapis untuk mencapai hubungan terapeutik yang positif; b) terapis menyampaikan orientasi kognitif kepada klien dan membantu memahami perilaku klien; c) terapis member saran dan panduan dalam mengatasi krisis dan masalah keseharian; d) meningkatkan harga diri klien melalui penguatan positif dan dukungan; e) bekerja dalam orientasi sumber daya, contohnya membantu klien untuk menemukan kemampuan menolong dirinya; f) menahan diri dari pendekatan konfrontasi dan bujukan regresi. Dalam model terapi ini juga seorang terapis harus menganggap klien sebagai mitra dalam pengobatan dan mendorong otonomi klien untuk membuat keputusan pengobatan dan kehidupan. Pada gilirannya, klien diharapkan untuk menunjukkan kesediaan untuk berbicara tentang peristiwa kehidupan, menerima peran pendukung terapis, berpartisipasi dalam program terapi, dan mematuhi struktur terapi. (Stuart & Laraia, 1998)
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Tinjauan Kasus Tn. M yang berumur 55 tahun datang berobat ke Poli Jiwa RSJ X dengan diantar oleh istrinya. Istrinya mengatakan selama dirumah pasien susah diajak komunikasi, kadang hanya mengurung diri di kamar atau sekedar termenung sendiri dan jika diajak berbicara selalu memalingkan wajah dari lawan bicara. Istri pasien mengatakan, semua ini dilakukan oleh Tn M, sejak 6 bulan yang lalu 1 minggu setelah Tn.M mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan garmen tempatnya bekerja. Pada saat pengkajian oleh perawat A, Tn. M terlihat murung dan sering menundukkan kepala, suara pelan ketika menjawab pertanyaan perawat. Setelah dibantu untuk berani mengungkapkan perasaan, Tn. M menceritakan jika dirinya sering merasa sedih, mudah lelah, kehilangan semangat
hidup dan merasa tidak berguna lagi bagi keluarganya. Pasien merasa malu dengan sanak saudara, karena sudah tidak bisa menafkahi keluarganya. Dirinya merasa takut dan malu menjadi bahan pergunjjingan orang di sekitarnya karena menjadi pengangguran. Tn.M mengatakan dirinya di PHK karena dipergoki oleh teman-temannya sedang mengambil isi tas salah satu pegawai di ruang ganti pegawai. Tn. M merasa dirinya tidak diterima lagi di kampungnya. Masyarakat di kampungnya sering mencemooh dan memperolok dirinya sebagai pencuri. Keterangan dari istri Tn.M mengatakan kepada perawat bahwa Tn. M sekarang sudah jarang keluar rumah. Tn. M yang semula rajin bergaul dengan tetangga sekitar tempat tinggalnya serta ibadah sholat di masjid dekat rumahnya, kini sudah tidak lagi menjalankan aktivitas tersebut seperti biasa. Jika ada sanak keluarga atau teman yang berkunjung ke rumahnya, Tn.M tidak pernah memulai pembicaraan, hanya menjawab jika diajak berbicara, tidak mau menatap lawan bicara dan cenderung menjaga jarak dengan lawan bicara. Istri pasien juga mengatakan pasien tidak mau memeriksakan penyakit hipertensi yang sudah pasien derita sejak umur 50 tahun ke Puskesmas. Begitu pula dengan kebiasannya pergi ke kebun miliknya, kini sudah tidak pernah dia lakukan. 3.2 Analisa Kasus 3.2.1 Jenis masalah Harga diri rendah kronik 3.2.2 Faktor yang dapat mengubah perilaku klien Sesuai dengan model terapi if gangguan yang terjadi pada pasien dapat disebabkan oleh 3 aspek yaitu biopsikosoal. Pada kasus yang dialami Tn. M, faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku sosial pada Tn. M, diantaranya : a. Biologi Harga diri rendah kronik merupakan salah satu respon maladaptif dalam rentang respon neurobiologi. Proses terjadinya harga diri rendah kronik pada pasien skizofrenia dapat dijelaskan dengan menganalisa stressor predisposisi dan presipitasi yang bersifat biologis, psikologis, dan sosial budaya sehingga menghasilkan respon bersifat maladaptif yaitu perilaku harga diri rendah kronik (UI, 2015). Secara Biologis Tn “ M “
mengalami sakit Hipertensi yang bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah. b. Psikologi Faktor psikologis yang dapat dialami oleh individu bisa berupa ketakutan,
kecemasan,
maupun
peristiwa
traumatis
masa
lalu.
Pengkajian yang lengkap terhadap aspek psikologis ini nantinya akan bermanfaat di dalam pemilihan terapi yang akan diberikan kepada individu. Hal ini berarti bahwa dalam melihat permasalahan kejiwaan yang dialami individu, seharusnya tidak saja memperhatikan aspek biomedical saja, tetapi juga aspek psikologis individu . Bertolak dari kasus pada Tn. M, pengalaman psikis yang kurang menyenangkan dari Tn.M berupa pengalaman menjadi korban PHK karena terlibat diketahui sedang mengambil barang di dalam tas seorang pegawai di tempatnya bekerja. Kejaidan ini dapat menjadi faktor psikis yang memberikan pengaruh negatif jika Tn. M tidak mampu menggunakan mekanisme koping secara positif atau adaptif . c. Sosial Dukungan sosial secara umum mengacu pada bantuan yang diberikan kepada seseorang oleh orang –orang yang berarti baginya seperti keluarga dan teman-teman. Dukungan sosial dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan baik langsung atau tidak langsung terhadap kualitas hidup seorang individu. Jadi dapat dikatakan jika sesorang tidak mendapatkan dukungan sosial maka individu tersebut dapat mengalami stressor yang bila mekanisme koping yang digunakan individu maladaptive, maka hal tersebut dapat berdampak negatif bagi kondisi psikologisnya . Penggunaan koping individu yang inefektif disebabkan karena individu kurang memperoleh dukungan secara emosi, bantuan maupun kurangnya informasi yang mereka peroleh. Dengan adanya dukungan sosial, seorang individu akan merasakan penghargaan yang diberikan terhadap dirinya, dimana hal ini akan menimbulkan suasana mood ataupun kenyamanan yang membuat kepercayaan diri individu meningkat Dari tinjauan kasus, terlihat bahwa Tn. M tidak mendapat dukungan sosial terutama dari lingkungan sekitar rumahnya ataupun
tempatnya bekerja. Keadaan lingkungan sekitar Tn.M yang banyak memperolok serta menghina Tn.M dapat memberikan pengaruh yang kurang baik bagi keadaan kesehatan Tn. M secara psikologis. Tn.M menjadi bahan pergunjingan karena status penganguran diberhentikan karena diduga melakukan tindakan pencurian di tempat kerja. PHK menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan di tempat kerja merupakan stressor negatif bagi psikologis Tn.M, ditambah dengan penerimaan yang negatif dari orang orang di lingkungan tempat tinggalnya menyebabka harga diri dari Tn.M menjadi menurun. 3.2.3 Dampak jika tidak ditangani Pasien dapat mengalami masalah yang lebih berat bila keadaannya saat ini tidak ditangani secara tepat yaitu dapat menjadi depresi ataupun menjadi gangguan kejiwaan. 3.2.4 Terapi if yang dapat diterapkan Dalam model terapi duportif ini psikoterapi menjadi dasar dalam mebantu individu untuk dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif terhadap stressor yang bersifat negatif . Pada kasus seperti gambaran di atas maka beberapa psikoterapi yang dapat derikan pada Tn.M oleh perawat jiwa antara lain : a.Terapi individu Cognitive Therapy (Terapi kognitif) efektif dalam meningkatkan harga diri pasien dengan HDR . Data ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di kelurahan Bubulak Bogor menunjukkan terapi kognitif sangat efektif pada 11 pasien harga diri rendah terutama pada harga diri rendah situasional. Pasien harga diri rendah yang mendapat terapi kognitif menunjukan peningkatan dalam rasa percaya dirinya dan hidup produktif. Berdasarkan analisis statistik didapat pengaruh signifikan sebelum dan sesudah dilakukan terapi kognitif . Cognitive Behaviour Therpy (CBT) efektif dalam meningkatkan harga diri pasien dengan HDR . Data ini sesuai dengan penelitian menunjukkan cognitive behavior therapy meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizoprenia dengan harga diri rendah secara bermakna (p<0.05, α=0.05) .
Logoterapi bertujuan meningkatkan harga diri melalui proses penemuan makna hidupHasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan harga diri (kognitif, perilaku, afektif) yang signifikan pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan logoterapi . b. Terapi keluarga Family Psychoeducation (FPE) merupakan wujud perawatan yang komprehensif dan dilakukan supaya keluarga tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik secara tidak langsung semua anggota keluarga turut merasakan pengaruh dari keadaan harga diri rendah pasien, sehingga pasien bisa kembali produktif . c.Terapi kelompok Pemberian tindakan generalis dan terapi kelompok if memiliki pengaruh yang lebih bermakna terhadap harga diri klien DM dibandingkan dengan pemberian tindakan generalis saja . Reminesence therapy secara signifikan meningkatkan harga diri pada lansia yang di rawat di rumah , 3.3 Analisis Teori Model Terapi if 3.3.1 Analisa Kelebihan Model Terapi if Dalam Aplikasi Keperawatan a. Model terapi if sangat aplikatif diterapkan dalam pelayanan keperawatan khususnya dalan keperawatan jiwa, karena terapi ini dapat diterapkan pada tiga macam diagnosa yang ada di dalam keperawatan jiwa yaitu untuk diagnosa sehat sebagai upaya health promotion behavior/meningkatkan kualitas kesehatan jiwa klien, untuk diagnosa resiko sebagai upaya health prevention behavior/pencegahan terjadinya gangguan jiwa, dan untuk diagnosa gangguan sebagai upaya health seeking behavior/ pengobatan. b. Fokus utama dari model terapi if adalah memberikan dukungan kepada klien yang sedang menderita suatu penyakit maupun klien yang sedang dihadapkan pada suatu permasalahan. Sebuah /dukungan merupakan hal yang sangat diperlukan oleh semua individu dalam keadaan apapun dan di semua lini. Sehingga model terapi ini tentunya dapat diaplikasikan baik di masyarakat, rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa. c. Model terapi if dapat diberikan secara individu, kelonpok maupun keluarga sehingga dapat menciptakan system yang baik untuk
klien sehingga dapat dijadikan sebagai sumber koping oleh klien itu sendiri. d. Dalam aplikasi model terapi if ini terapis dan klien menjadi mitra dan klien juga diberikan otonomi untuk memutuskan pengobatannya dengan begitu klien akan dilibatkan dalam memutuskan pengobatan untuknya. 3.3.2 Analisa Kekurangan Model Terapi if Dalam Aplikasi Keperawatan a. Aplikasi terapi if harus dilakukan secara berkesinambungan atau terus menerus karena bila terputus akan mengakibatkan hilangnya system dalam diri klien b. Diperlukan pendampingan profesional untuk melakukan terapi if sehingga tidak dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri. c. Model terapi if merupakan merupakan bentuk
eklektik
psikoterapi, yaitu, tidak didasarkan pada teori tertentu psikopatologi, belum memiliki konsep utama sehingga saat ini masih mendasarkan teorinya pada psychodinamic. Dalam artian diagnosa keperawatan yang dapat diterapkan terapi if belum spesifik. 3.4 Masukan Perbaikan Untuk Model Terapi if a. Untuk aplikasinya sebaiknya klien harus diajarkan untuk melakukan terapi secara mandiri baik untuk individu, keluarga, maupun kelompok sehingga kegiatan terapi dapat berjalan secara berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan kliennya b. Perlu adanya teori baku untuk model terapi sehingga lebih jelas dalam pengaplikasiannya. c. Terapi if dalam model terapi if hanya dikenal oleh kalangan ners spesialis sehingga perlu lebih disosialisasikan kepada perawat generalis terutama yang bertugas di pelayanan kesehatan untuk menambahkan pengetahuan mengenai psikoterapi yang dapat diberikan kepada pasien.
BAB IV
PENUTUP 4.1 Kesimpulan 4.1.1 Model terapi if adalah suatu cara psikoterapi yang banyak digunakan di rumah sakit maupun di masyarakat, fokus terapi ini adalah memberikan dukungan kepada klien yang mengalami penyakit, sedang menghadapi suatu permasalahan maupun untuk mendorong klien pada 4.1.2
perubahan yang lebih baik. Pemberiannya terapi if dapat dilakukan satu atau dua kali dalam seminggu dengan durasi 50 menit setiap sessinya atau dapat diberikan dengan mempertimbangkan waktu serta kondisi anggota yang akan menerimanya. Pemberian terapi ini juga dapat diberikan pada individu
4.1.3
maupun kelompok Dalam model terapi sportif ini perawat dan klien adalah mitra dimana perawat akan memberikan perawatan secara terapeutik kepada klien dengan juga memberikan hak otonomi klien untuk ikut menentukan pengobatan yang akan didapatkannya. Jadi harus ada kerjasama yang baik
4.1.4
antara perawat dan klien. Beberapa kelebihan dari terapi sportif dalam aplikasinya di pelayanan keperawatan khususnya keperawatan jiwa yaitu : a. Dapat diaplikasikan dalam 3 jenis diagnosa keperawatan b. Dapat di aplikasikan untuk klien di masyarakat, rumah sakit umum,
4.1.5
maupun rumah sakit jiwa c. Dapat diberikan secara individu maupun kelompok d. Hubungan antara perawat dan klien dalam terapi ini adalah mitra Beberapa kekurangan dari terapi sportif dalam aplikasinya dipelayanan keperawatan khususnya keperawatan jiwa yaitu : a. Terapi if ini perlu diberikan secara berkesinambungan atau terus-menerus b. Diperlukan pendampingan profesional untuk melakukan terapi if sehingga tidak dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri.
4.2 Saran 1. Perawat dalam proses asuhan keperawatannya perlu mengajarkan kepada klien terapi sportif secara mandiri baik yang individu maupun kelompok sehingga klien dapat mengaplikasikannya secara terus-menerus sesuai dengan kebutuhan klien.
2. Perlu adanya pendekatan ilmiah untuk mentukan teori baku tentang terapi sportif sehingga aplikasinya akan lebih jelas dan detail.
DAFTAR PUSTAKA