BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria, sehingga dapat menyerang saluran dan kelenjar getah bening melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi Negara (Kemenkes RI, 2014). Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan pemberian obat pencegahan secara masal, pengendalian vektor, dan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dengan cara warga masyarakat diharapkan bersedia minum obat antifilariasis secara teratur sesuai dengan ketentuan yang diberitahukan oleh petugas (Widoyono, 2008). Menurut Hartati (2017) Salah satu petugas kesehatan Puskesmas Muntok menyatakan bahwa bebarapa masyarakat menolak mengkonsumsi obat filariasis yang dibagikan secara massal, karena mereka mengaku merasa pusing, mual dan lelah setelah mengkonsumsi obat yang dibagikan. Sejatinya kondisi tersebut merupakan efek samping yang wajar terjadi dari pengkonsumsian obat tersebut.
1
2
Pemutusan mata rantai filariasis melalui program Eliminasi Filariasis sebaiknya tidak hanya terfokus pada Pemberian Obat Pencegahan Secara Masal (POPM), perlu didukung dengan penggunaan pencegahan obat yang benar (Murad, 2018). Penggunaan pencegahan obat yang benar dapat memaksimalkan dalam peningkatan pemutusan rantai penularan filariais pada penduduk Kabupaten endemis filariasis dan seluruh penderita filariasis. Beberapa penyebab terjadinya pengobatan yang tidak benar, kurangnya pengetahuan masyarakat (Priyanto, 2008). Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan eliminasi Filariasis tahun 2020 sesuai ketetapan Word Health Organization (WHO) tentang Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020) dengan harapan Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020 (Permenkes, 2014). Di Indonesia, sampai dengan tahun 2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita klinis kronis Filariasis (elephantiasis) yang tersebar di semua provinsi. Secara epidemiologi, lebih dari 120 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular Filariasis. Sampai
akhir
endemis
Filariasis,
Jumlah
tahun dari
kabupaten/kota
tahun 511 endemis
2014,
terdapat
Kabupaten Filariasis
di ini
235
Kabupaten
seluruh
Indonesia.
dapat
bertambah
karena masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum terpetakan. (Kemenkes RI, 2014).
3
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki karakteristik geografis dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, hutan dan kepulauan merupakan daerah rawan penularan penyakit Filariasis. Berdasarkan Survey cepat pada tahun 2009 didapatkan angka Mikrofilaria rate (MF rate) ≥ 1 % sehingga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dinyatakan sebagai wilayah endemis filariasis (Dinkes RI, 2009). Menurut Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Pangkalpinang Murad (2018) bahwa “ Pemberian Obat Pencegahan secara Masal dilakukan 2 tahun sekali dan telah kami lakukan pada tahun 2016 di daerah yang teridentifikasi sebagai wilayah endemis filariasis” Dari pencatatan dan pelaporan yang diterima kasus filariasis kronis di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun Pada tahun 2015 jumlah kasus filariasis hanya sebesar 9 kasus dan 2016 sebanyak 117 kasus yang tersebar di 7 (tujuh) Kabupaten/Kota, Kasus terbanyak ditemukan di Belitung dan Bangka Barat yang sama–sama berjumlah 30 kasus dan paling sedikit ditemukan dikota Pangkalpinang yaitu sebanyak 3 kasus (Dinkes Bangka Belitung, 2016). Kabupaten Bangka Barat merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Bangka Belitung yang teridentifikasi sebagai wilayah endemis filariasis dan telah melakukan Transmission Assessment Survey (TAS). Tahap III pada tahun 2016. Survei Evaluasi Penularan Filariasis
4
atau Transmission Assessment Survey (TAS) merupakan salah satu metode survei untuk menilai apakah masih ditemukan adanya penularan Filariasis di daerah tersebut. Pada dasarnya, setelah POPM filarisis dilaksanakan setiap tahun selama 5 tahun berturut-turut (Permenkes, 2014). Kecamatan Muntok memiliki Keadaan alam sebagaian besar merupakan daerah dataran rendah, pantai dan perbukitan yang merupakan kondisi daerah yang rawan terkena Filariasis, serta kecamatan Muntok memiliki tingkat penduduk paling padat dari 6 kecamatan yang ada di kabupaten Bangka Barat, yaitu sebanyak 55.421 jiwa dari 204.778 jiwa (BPS Bangka Barat, 2017). Kelurahan/Desa Sungai Daeng memiliki jumlah penduduk sebesar 7.556. Sungai Daeng merupakan kelurahan yang memiliki penduduk terbanyak dibandingkan 4 kelurahan yang ada di Kecamatan Muntok, sehingga Pemberian Obat Pencegahan seacara Masal Filariasis paling banyak tersebar di daerah tersebut (BPS Bangka Barat, 2017). Menurut Pegawai Kelurahan Sungai Daeng bagian Kesejahteraan Masyarakat (Antini, 2018) bahwa “Bagian kami juga telah berencana akan melakukan vaksin filariasis dan Pemberian Obat Secara Massal di kelurahan Sungai daeng pada bulan Agustus 2018 secara gratis”. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat gambaran pengetahuan masyarakat kelurahan Sungai Daeng kecamatan Muntok kabupaten Bangka Barat tentang penggunaan obat pencegahan filariasis
5
tahun 2018. Harapannya, dengan dilakukannya penelitian ini dapat mengukur pengetahuan masyarakat kelurahan Sungai Daeng yang merupakan kelurahan dengan penduduk terpadat yang ada di Kecamatan Muntok , Kabupaten Bangka Barat sehingga tidak adanya keraguan untuk mengkonsumsi obat Filariasis yang dibagikan oleh tenaga Puskesmas. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dari uraian diatas, maka rumusan masalah yang dapat diumuskan yaitu “Bagaimana Gambaran Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat Tentang Penggunaan Obat Pencegahan Filariasis Tahun 2018 ? ” C. Tujuan Penelitian Mengetahui Gambaran Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat Tentang Penggunaan Obat Pencegahan Filariasis Tahun 2018 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Desa Sungai Daeng Hasil penelitian ini diharapkan masyarakat pengetahuan tentang obat filariasis
dapat menambah
sehingga masyarakat Sungai
Daeng tidak menolak untuk mengkonsumsi antifilariasis. 2. Bagi Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi di perpustakaan
6
3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran dalam melakukan suatu penelitian. 4. Bagi Dinas Kesehatan Sebagai bahan masukan mengenai gambaran pengetahuan masyarakat terhadap pengobatan filariasis di Desa Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat Kabupaten Bangka, sehingga pihak dinas Kesehatan dapat menyusun rencana penyuluhan yang lebih efektif tentang pengkonsumsian obat pencegahan penyakit filariasis. E. Ruang Lingkup Penelitian gambaran pengetahuan masyarakat Kelurahan Sungai Daeng tentang penggunaan obat pencegahan Filariasis perlu dilakukan karena banyaknya masyarakat yang menolak untuk mengkonsumsi obat filariasis sehingga mempengaruhi pengobatan filariasis yang seharusnya dapat memutuskan rantai penularan Filariasis pada penduduk. Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan di Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat pada bulan mei-juli 2018. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Kelurahan Sungai Daeng. Populasi Masyarakat sebanyak 7.556 orang dan jumlah sampel penelitian sebanyak 418 orang . Cara pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling dengan skala ordinal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan
penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan tersendiri. Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian presepsi terhadap obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012). b. Tingkat Pengetahuan Menurut
Notoatmodjo
(2012),
pengetahuan
mempunyai
6
tingkatan yaitu 1. Tahu Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur 7
8
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya. 2. Memahami Memahami
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan, contoh menyimpulkan dan meramalkan terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari kepada situasi atau kondisi real sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya dengan satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dari penggunaan
kata
kerja,
seperti
dapat
menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
9
5. Sintesis Sintesis yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, misalnya dapat menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap materi atau objek. Penilaian penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang telah ada. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan
menurut
Notoatmodjo (2003) adalah: 1) Umur Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pengetahuan. Umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Semakin tinggi umur seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena pengetahuan seseorang
diperoleh
dari
pengalaman
pengalaman yang diperoleh dari orang lain.
sendiri
maupun
10
2) Pendidikan Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi. Pendidikan meliputi peranan penting
dalam
menentukan
kualitas
manusia.
Dengan
pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan implikasinya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang baik yang menjadikan hidup yang berkualitas. 3) Paparan media massa Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai ini berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki. 4) Sosial ekonomi (pendapatan) Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun skunder keluarga, status ekonomi yang baik akan lebih mudah tercukupi
11
disbanding orang dengan status ekonomi rendah, semakin tinggi status social ekonomi seseorang semakin mudah dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga menjadikan hidup lebih berkualitas 5) Hubungan sosial Faktor hubungan sosial mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikasi media. Apabila hubungan sosial seseorang dengan individu baik maka pengetahuan yang dimiliki juga akan bertambah. 6) Pengalaman Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal biasanya diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses pengembangan misalnya sering mengikuti organisasi d. Pengukuran Menurut Arikunto (2010), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang mennayakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin diukur dan
12
disesuaikan dengan tingkatannya. Adapun jenis pertanyaan yang dapat digunakan untuk pengukuran secara umum dibagi menjadi 2 jenis yaitu : a. Pertanyaan subjektif Penggunaan pertanyaan subjektif dengan jenis pertanyaan essay digunakan dengan penilaian yang melibatkan factor subjektif dari peneliti , sehingga hasil nilai akan berbeda dari setiap penilai dari waktu ke waktu. b. Pertanyaan objektif Jenis pertanyaan objektif seperti pilihan ganda (multiple choise), betul salah dan pertanyaan menjodohkan dapat dinilai secara pasti oleh penilai. Menurut Arikunto (2010), pengukuran tinngkat pengetahuan dapat dilkategorikan menjadi 3 yaitu: 1) Pengetahuan baik bila responden dapat menjawab 76-100% dengan benar dari total jawaban pertanyaan. 2) Pengetahuan cukup bila responden dapat menjawab 5675% dengan benar dari total jawaban pertanyaan. 3) Pengetahuan kurang bila responden dapat menjawab <56% dari total jawaban pertanyaan.
13
2. Filariasis a. Definisi Di Indonesia filariasis sering dikenal dengan penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial, yaitu Brugia malayi, Wuchereria bancrofti, dan Brugia timori. Cacing dewasa hidup disaluran limfe dan pembuluh limfe, sedangkan cacing (mikrofilia) dijumpai di dalam darah tepi penderita (Soedarto, 2009). b. Epidemiologi Filariasis Penyakit
filariasis
terutama
ditemukan
di
daerah
khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah daratan rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan pemberian Diethylcarbamazine (DEC) dosis rendah jangka panjang (100 mg/mingggu selama 40 minggu). Survey prevalensi filariasis yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi bervariasi dari 0,5%-19,46% (P2M & PLP,1999). Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa pada umumnya ada tedensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu
14
diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vector dan
keadaan
lingkungan
yang
sesuai
untuk
menunjang
kelangsungan hidup masing-masing (Depkes, 2009). c. Etiologi Pada dasarnya semua manusia dapat tertular Filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap. Namun demikian, dalam kenyataannya di suatu daerah endemis Filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala klinis. Meskipun tanpa gejala klinis tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya. Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis Filariasis mempunyai risiko terinfeksi Filariasis lebih besar disbanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah
endemis,
pemeriksaan
darah
misalnya jari
transmigran,
belum
atau
walaupun
sedikit
pada
mengandung
microfilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Kemenkes, 2014). Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis Filariasis mempunyai risiko terinfeksi Filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran (Kemenkes, 2014).
15
d. Gejala dan Tanda Penderita filariasis bias tidak menunjukkan gejala klinis (asimtiomatis), hal ini disebabkan oleh kadar mikrofilia yang terlalu sedikit dan tidak terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium atau karena memang tidak terdapat mikrofilia dalam darah (Widoyono, 2008). Apabila menimbulkan gejala, maka yang sering ditemukan adalah gejala akibat manifestasi perjalanan kronik penyakit. Gejala penyakit pada tahap awal (fase akut) bersifat tidak khas seperti demam selama 3-4 hari yang dapat hilang tanpa diobati, demam berulang lagi 1-2 bulan kemudian, atau gejala lebih sering timbul bila pasien bekerja terlalu berat. Dapat timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipatan paha atau ketiak dengan tidak ada luka di badan. Dapat teraba garis seperti urat dan berwarna merah, serta terasa sakit dari benjolan menuju kea rah ujung kaki atau tangan (Widoyono, 2008). Gejala terjadi berbulan bulan sampai bertahun-tahun, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Cacing akan menyebabkan fibrosis dan penyumbatan pembuluh limfe. Penyumbatan ini akan mengakibatkan pembengkakan pada daerah yang bersangkutan. Tanda klinis yang sering ditemukan adalah pembengkakan skrotum (hidrokel) dan pembengkakan anggota gerak terutama kaki (elephantiasis).
Diagnosis
ditegakkan
melalui
pemeriksaan
16
laboratorium dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah (Widoyono, 2008). e. Pengobatan i)
Diethylcarbamazine Citrate (DEC) (1)
Indikasi Merupakan obat Filariasis terpilih terhadapmikrofilaria DEC
bersama
Albendazole
digunakan
untuk
mengontrol limfatik Filariasis, dapat menurunkan mikrofilaria dengan baik selama setahun. Pemberian sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut bertujuan untuk mempertahankan kadar mikrofilaria dalam
darah
tetap
rendah
sehingga
tidak
memungkinkan terjadinya penularan. (2)
Mekanisme Kerja: (a)
Terhadap
mikrofilaria
Melumpuhkan
otot
mikrofilaria, sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya.Mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistim pertahanan tubuh. (b)
Terhadap
makrofilaria
(cacing
dewasa)
Menyebabkan matinya cacing dewasa, tetapi mekanisme belum jelas. Cacing dewasa yang
17
masih hidup dapat dihambat untuk memproduksi mikrofilaria selama 9-12 bulan. (3) Dosis Diethylcarbamazine
Citrate
(DEC)
diberikan
berdasarkan dosis umur. (4) Absorbsi dan Ekskresi (a) Absorbsi dalam saluran cerna terjadi dengan cepat. Dalam plasma kadarnya mencapai puncak dalam 12 jam sesudah dosis oral tunggal, dan waktu paruh dalam plasma bervariasi mulai dari 2 - 10 jam. (b) DEC diekskresi melalui saluran urin dalam waktu 48 jam. (5) Toksisitas dan Efek Samping Jika dosis harian tidak melebihi 8-10 mg/kgBB, jarang terjadi kejadian ikutan pasca pengobatan Filariasis yang berupa efek toksik langsung berat dari DEC dan biasanya hilang dalam beberapa hari. Kejadian ikutan terutama
berupa
mual,
sakit
kepala,
demam,
mengantuk, menurunnya nafsu makan, urtikaria dan muntah yang akan hilang dengan sendirinya. Kejadian ikutan dapat berupa alergi ringan sampai berat dapat timbul sebagai akibat langsung dari matinya cacing filaria yang menandakan berhasilnya pengobatan.
18
Kejadian ikutan ini akan hilang atau lebih ringan pada pengobatan tahun berikutnya. ii)
Albendazole (1) Indikasi Albendazole
meningkatkan
efek
DEC
dalam
membunuh mikrofilaria. Albendazole
dapat
melemahkan
makrofilaria.
Albendazole telah luas digunakan sebagai obat cacing usus (cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang). (2) Dosis Albendazole diberikan berdasarkan dosis umur (3) Absorbsi dan Ekskresi Penyerapan Albendazole akan lebih baik sesudah makan. Albendazole memiliki waktu paruh yang sangat bervariasi yaitu 4 -15 jam. (4) Toksisitas dan Efek Samping Albendazole jarang menimbulkan efek samping pada pemakaian jangka pendek. Efek samping dapat timbul berupa mual, nyeri ulu hati, pusing, sakit kepala, sakit perut, diare, keluar cacing, demam, lemas dan sesak napas seperti asma.
19
f.
Pencegahan Menurut widoyono (2008) pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni : 1. Pengobatan massal Cara penvegahan penyakit yang paling efektif setelah mencegah gigitan nyamuk pembawa mikrofolia. Apabila suatu daerah sebagian besar sudah terkena penyakit ini, maka pengobatan massal dengan DEC, ivermectin, atau albendazol dapat diberikan setahun sekali dan sebaliknya dilakukan paling sedikit selama lima tahun. 2. Pengendalian vekor Kegiatan pengendalian vektor adalah pemberantasan tempat perkembangbiakan nyamuk melalui pembersihan got atau saluran pembuangan air, pengaliran air tergenang, dan penebaran bibit ikan pemakan jentik. Kegiatan lainnya adalah menghindari gigitan nyamuk dengan memasang kelambu, menggunakan obat naymuk oles, memasang kasa pada ventilasi udara, dan menggunakan obat nyamuk bakar atau obat nyamuk semprot. 3. Peran serta masyarakat Warga masyarakat diharapkan bersedia dating dan mau diperiksa darahnys pada malam hari pada saat ada kegitan pemeriksaan darah, bersedia minum obat anti-penyakit kaki
20
gajah
secara
teratur
sesuai
dengan
ketentuan
yang
diberitahukan oleh petugas, memberitahukan kepada kader atau petugas kesehatan bila menemukan penderita filariasis, dan bersedia bergotong royong ihkan sarang nyamuk atau tempat perkembangbiakan nyamuk. B. Kerangka Teori
Umur Pendidikan Paparan media massa Sosial Ekonomi Hubungan sosial Pengalaman
Pengetahuan: Tahu Memahami Aplikasi Analisis Sintesis Evaluasi
Penggunaan obat pencegahan Filariasis
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian tentang Gambaran Pengetahuan Masyarakat Tentang Penggunaan Obat Pencegahan Filariasis di Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat Tahun 2018.
C. Kerangka Konsep Pengetahuan masyarakat kelurahan Sungai Daeng kecamatan muntok pengetahuan masyarakat kelurahan Sungai Daeng kecamatan Muntok
Penggunaan obat pencegahan Filariasis
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian tentang Gambaran Pengetahuan Masyarakat Tentang Penggunaan Obat Pencegahan Filariasis di Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat Tahun 2018.
21
D. Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variable atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variable penelitian (Arikunto, 2010). Variabel
Definisi Operasional
Pengukuran
Skala
Pengetahuan tentang penggunaan obat pencegahan filariasis
Kemampuan responden untuk menjawab pertanyaan tentangb obat penceegahan filariasis : Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (0-55%)
Menggunakan kuisioner pilihan jawaban : Benar = skor 1, Salah = skor 0
Ordinal
BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan metude survey deskriptif kuantitatif. Menurut Notoatmodjo (2012), metode survey deskriptif yaitu metode penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu. B. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat pada bulan Januari-Juli tahun 2018 (jadwal terlampir). C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat yang berjumlah 7.556 jiwa. 2. Sampel Jumlah sampel pada penelitian ini ditentukan menggunakan rumus Slovin : n
=
22
𝑵 𝟏+𝑵 (𝒅𝟐 ).
23
Keterangan: N =Besarnya Populasi n
=Besarnya sampel
α = Taraf signifikansi α = 0,05 Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung besar sampel sebagai berikut :
n
𝑁
=
1+𝑁 (𝑑2 ). 7.556
=
1+7.556 (0.052 ).
=
7.556
1+18,89. 7.556
= n
19,89
=379,88 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka diperoleh sampel
sebesar 380 orang . Sopiyudin (2013) menyebutkan, untuk mengantisipasi jika dalam pengisian kuesioner terjadi drop out data responden ditambahkan 10% dari hasil hitung, yaitu 380 x 10% = 38 orang. Oleh karena itu, jumlah sampel yaitu 380 + 38 = 418 orang. Peneliti menggunakan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi pada populasi yang menjadi responden dalam penelitian ini : a. Kriteria Inklusi 1) Masyarakat yang bertempat tinggal di Kelurahan Sungai Daeng 2) Masyarakat yang bersedia menjadi responden
24
b. Kriteria Eksklusi 1) Masyarakat yang tidak dapat membaca 2) Masyarakat berpindah tempat tinggal D. Cara Pengambilan Sampel Teknik pegambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri
atau
sifat-sifat
populasi
yang
sudah
diketahui
sebelumnya
(Notoatmodjo,2012). Kelurahan Sungai Daeng merupakan kelurahan yang memiliki jumlah penduduk terpadat diantara kelurahan lain yang berada di Kecamatan Muntok dan dekat dengan area perbukitan. (BPS Bangka Barat, 2016) . Alat atau instrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner sebagai pemandu peneliti dalam melakukan wawancara kepada responden . Skala pengukuran merupakan acuan untuk menentukan jumlah jawaban yang digunakan pada sebuah instrument. Skala yang digunakan oleh peniliti adalah skala Gutman. Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas, yaitu ya-tidak : benar-salah ; pernahtidakpernah : positif-negatif. Selain dapat dibuat dalam bentuk checklist jawaban dapat dibuat skor tinggi satu dan skor rendah nol (Sugiyono, 2010). Sebelum penelitian dilakukan, instrument yang digunakan untuk mengambil data yang sebenarnya, terlebih dahulu dilakukan ujicoba/tryout
25
instrument, untuk mengetahui tingkat kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Uji validitas dan reliabilitas pada penelitian ini dilakukan di Kelurahan Belo laut alasan dipilihnya Kelurahan Belo laut sebagai tempat untuk Uji validitas berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk yang terpadat no 2 (BPS Bangka Barat, 2017). E. Cara Pengolahan Data Menurut Notoatmodjo (2010), data yang diperoleh dari lapangan, akan diolah dan diperiksa dengan langkah-langkah berikut : 1. Editing Data (Pengeditan Data) Editing data adalah proses penyuntingan data dan memastikan data yang dikumpulkan telah lengkap artinya semua pertanyaan penelitian telah di jawab responden dengan lengkap dan jelas, relevan, dan konsisten. 2. Coding Data (Pengkodean Data) Coding data adalah proses pemberian kode pada jawaban kuesioner yang telah diedit yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Coding data betyjuan untuk mempermudah dalam proses entry data. 3. Enty Data (Pemasukan Data) Entry data adalah proses memasukkan data penelitian yang telah melalui tahap editing dan coding dalam table secara manual.
26
4. Tabulasi Membuat table data dan grafik, sesuai dengan tujuan penelitian. Analisa data yang akan dilakukan menggunakan analisa univariat. Analisa univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi variabel, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dilengkapi dengan keterangan.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Ed. Revisi). Rineka Cipta. Jakarta Antini. 2018. Komunikasi Pribadi Petugas Kelurahan Sungai Daeng Kecamatan Muntok. Dilakukan di Muntok 17 Februari 2018. Muntok BPS Bangka Barat. 2016 . Statistik Daerah Kecamatan Muntok 2016 . Diakses 15 November 2017. _______________.2017. Kecamatan Muntok Dalam Angka 2017. Badan Pusat Stastistik Bangka Barat 2017. Muntok Depkes.2009. Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Jakarta Dinkes Bangka Barat. 2015. Buku Profil Kesehatan Kabupaten Bangka Barat Tahun 2015. Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat . Muntok Dinkes Bangka Belitung. 2016. Buku Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Prov. Bangka Belitung tahun 2016. Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung . Pangkalpinang Dinkes RI .2008. Buku Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta __________2009. Buku Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Dinas Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Hartati, Ati, 2017. Komunikasi Pribadi Petugas Kesehatan Puskesmas Muntok. Dilakukan di Muntok 18 November 2017. Kemenkes . 2014 . Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Munawarroh,lailatul. 2016. Evaluasi Program Eliminasi Filariasis Dariaspek Perilaku Dan Perubahan Lingkungan. Unnes Journal of Public Health. Semarang Murad. 2018. Komunikasi Pribadi Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Pangkalpinang.Dilakukan di Pangkalpinanng, 13 Januari 2018.
27
28
Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT . Rhineka. Jakarta -------------------------------2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT . Rhineka. Jakarta ___________________.2012. Metodelogi Penelitian Kesehatan. PT. Rhineka. Jakarta Nursyandi. 2017.Bangka Barat Raih Sertifikat Eliminasi Filariasis. 07 Oktober 2017.Muntok Soedarto. 2009. Penyakit Menular Di Indonesia. Sagung Seto. Jakarta Sopiyudin, Dahlan . 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Salemba Medika. Jakarta Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit CV Alfabet. Bandung Widoyono. 2008. Penyakit menular Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta