KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini ditulis untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Saraf Rumah Sakit Bhayangkara Tk I Raden Said Sukanto. Dalam referat ini akan dibahas mengenai Miastenia Gravis . Tinjauan pustaka pada referat ini menggunakan berbagai sumber kepustakaan. Penulis berharap referat ini dapat memenuhi memberikan manfaat berupa pengetahuan kepada pembaca. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada pembimbing, yaitu dr. Maula N. Gaharu, Sp.S yang telah banyak memberikan arahan dan masukan guna melengkapi penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun. Akhir kata semoga referat ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian. Jakarta, 28 September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….
1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………
2
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………………………….
3
1
BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………………………..
4
II.1 Definisi…………………………………………………………………………....
4
II.2 Epidemiologi..………………………………………………………………….....
6
II.3 Etiologi .......……………………………………………………………………....
7
II.4 Patofisiologi…………………………………………………………………….....
8
II.5 Manifestasi Klinis……………………………………………………………........
10
II.6 Klasifikasi ...............................................................................................................
15
II.7 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………….
.....
II.8 Diagnosis………………………………………………………………………......
17
II.9 Diagnosis Banding……………………………………………………………........
20
II.10 Penatalaksanaan………………………………………………………………........
21
II.10 Komplikasi……………………………………………………………………......
28
II.11 Prognosis………………………………………………………………………......
28
BAB III : KESIMPULAN……………………………………………………………………….
30
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………........
31
13
BAB I PENDAHULUAN Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi
2
AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis 1. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh1. Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung 1. Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang2.
BAB II MIASTENIA GRAVIS 2.1 Definisi Miastenia Gravis Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas 3,4. Pada penyakit ini IgG mengikat reseptor asetilkolin pada membran pascasinaptik persambungan neuromuskularis (neuromuscular junction). Jumlah reseptor asetilkolin yang menurun karena terikat IgG ini menyebabkan amplitudo potensial lempeng ujung (end plate) berkurang, dengan akibat tidak timbulnya potensial aksi 5. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction 2.2.1. Anatomi Neuromuscular Junction Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular11. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction11.
3
Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction 2.2.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi 10,11. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)10,11. Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik 10,11. Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu10: 1.
Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin mengkatalisasi reaksi berikut ini:
asetiltransferase yang
Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA 2.
Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3.
Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca 2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca 2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4.
Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na + akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
4
5.
Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps
6.
Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction 2.3. Epidemiologi Meskipun MG jarang, tingkat prevalensi untuk MG meningkat dari waktu ke waktu. Tingkat prevalensi baru-baru ini mendekati 20 / 100.000. Berbagai kejadian dilaporkan dengan perkiraan sekitar 2,0-10,4 / juta / tahun di Virginia untuk 21,27 / juta / tahun di Barcelona, Spanyol. Onset MG dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun, perempuan lebih mendominasi dengan perbandingan 7: 3. Dalam dekade kelima, kasus baru MG adalah merata antara pria dan wanita. Setelah usia 50, kasus baru MG yang sedikit lebih umum pada laki-laki dengan rasio 3: 2 10. 2.4. Etiologi Miastenia Gravis MG adalah idiopatik pada kebanyakan pasien.Meskipun penyebab utama di balik perkembangannya masih bersifat spekulatif, hasil akhirnya adalah kekacauan regulasi sistem kekebalan tubuh.MG jelas merupakan penyakit autoimun dimana antibodi spesifik telah ditandai sepenuhnya.Dalam sebanyak 90% kasus umum, IgG terhadap ACHR terbukti.Bahkan pada pasien yang tidak mengembangkan miastenia klinis, anti-antibodi ACHR kadang-kadang dapat ditunjukkan. 1 Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk antibodi terhadap MuSK (MuscleSpecific Kinase).biopsiotot pada pasien ini menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif MG untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti MuSK positif MG okulobulbar.1
5
Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG. Misalnya, perempuan dan orang dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) jenis memiliki kecenderungan genetik terhadap penyakit autoimun.Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8, HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan bentuk ketat okular MG). Kedua SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG.1 Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan reseptor AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab miastenia gravis, tetapi antigen pemicu belum diidentifikasi. 1 Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang berikut: 1
Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin, dan ampisilin) Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tinggi anti-ACHR titer antibodi terlihat pada 90%
kasus, namun, kelemahan ringan, dan pemulihan penuh dicapai minggu sampai bulan setelah penghentian obat Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol) Lithium Magnesium Procainamide Verapamil Quinidine Klorokuin Prednisone Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma) Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl) Agen memblokir neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) - Ini harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien myasthenic untuk menghindari blokade neuromuskuler yang berkepanjangan Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1 laporan kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap.
Kelainan timus yang umum, dari pasien dengan MG, 75% memiliki penyakit timus, 85% memiliki hiperplasia timus, dan 1015% mengalami timoma. Tumor Ektratimik mungkin termasuk sel kanker paru-paru kecil dan penyakit Hodgkin.Hipertiroidisme hadir dalam 3-8% pasien dengan MG dan memiliki hubungan tertentu dengan MG okular. 1 2.5 Patofisiologi
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat
6
otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara lain:auto antibodies terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodies sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan auto antibodies menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR. 7
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran autoantibodi terhadap AChR. (Burmester, Thieme : color atlas of immunology, 2003) Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15% kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan tindakan timektomi, timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun, stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi. 7
Gambar 2. Salah satu penyebab timbulnya autoantibodi terhadap AChR.
7
2.6. Manifestasi klinis Miastenia Gravis Keluhan awal yang biasanya terjadi adalah kelemahan otot spesifik bukan kelemahan otot yang umum dan kondisinya memburuk biasanya berfluktuasi selama beberapa jam. Tidak terlalu terlihat pada pagi hari dan biasanya memburuk seiring berjalannya hari. 3 Tabel 1. Manifestasi klinis pada Miastenia Gravis dari gejala yang sering terjadi sampai pada gejala yang jarang terjadi. Serin g terjadi
Otot-otot Ocular
Gejala Ptosis dan penglihatan
Wajah
ganda Kesulitan mengunyah,
Leher
menelan, dan berbicara Kesulitan mengangkat
Ekstremitas proksimal
kepala saat posisi telentang Kesulitan mengangkat lengan setinggi bahu dan kesulitan berdiri dari posisi duduk
Pernapasan
kesulitan
untuk
bangundari posisi tertidur Kelemahan saat mengenggam
Jaran
bantuan
tangan Gangguan pernapasan dan
Ekstremitas distal
dengan
dan
kelemahan
g terjadi
pada pergelangan dan kaki Sumber : Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle & Nerve. 2004
8
Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Ocular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot bola mata . Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai ptosis ; yang mengenai otot extraocular maka pasien akan melihat dobel pada arah otot yang lemah. Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat
3
onset penyakit mereka. Pasien merasakan
penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat kearah lateral dan ke atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan pada satu otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yang tidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis di buka dengan menggunakan jari (Hering fenomena). Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan motilitas okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harus mengarahkan kecurigaan pada myasthenia gravis MG.
3
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat. 3 Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi mungkin mengeluh kesulitan menjaga mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung dengan kelemahan myasthenic. Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi simultan pada kelopak mata bawah. Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut " myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui sedotan, atau meledakkan balon.
3
Gambar 3. Pasien yang memperlihatkan gejala Miastenia gravis okuli. Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 07 Juni 2012 Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.
3
9
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan pembuka rahang tetap kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan lebih sulit untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan dingin. Adakalanya pasien untuk menggunakan es batu untuk meminum cairan yang dibutuhkan. regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan membutuhkan suktion mulut.. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen gizi. 3 Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk menahan kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada ekstensor leher. Pasien telentang sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya “stridor”, selama dalam usaha inspirasi dan dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah pasien membutuhkan intubasi endotrakeal. 3 Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. pasien myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas paten dikatakan crisis. kelumpuhan Vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Batuk membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang terutama dengan cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas paten, otot yang digunakan untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu lemah untuk menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas vital (> 20 ml / kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan respirasi mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya, pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada diafragma. Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai masalah pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan demikian menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah tersebut.
3
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat antikolinesterase. Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti biasanya dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah mungkin tidak dapat melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan. 3 Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk transmisi neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada MG, meskipun beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian, memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan lengan. kelelahan otot ekstremitas atas dapat diuji secara semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk menahan lengan ke depan saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari congenital slow-channel myasthenic syndrome. 3 Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. kelelahan otot tungkai dapat diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali, penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul akan memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otototot aktif pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak aktif. 3
10
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan pada miopati proksimal dari pada kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot ekstremitas pada khususnya yang timbul sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja.
3
Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Kelelahan, kurang tidur Stres, kecemasan, Depresi Kelelahan, gerakan berulang Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata) Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan beberapaantibiotik Minuman beralkohol Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin tetaptimbul sebentar setalah
j.
penyakit / infeksi tersebut sembuh. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.
2. 7 Klasifikasi Miastenia gravis Pada bulan Mei 1997, Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas untuk mengatasi kebutuhan untuk klasifikasi yang diterima secara universal, sistem grading, dan metode analitik untuk manajemen pasien yang menjalani terapi dan untuk digunakan dalam uji penelitian terapeutik. Sebagai hasilnya, Klasifikasi MGFA Klinis diciptakan. Klasifikasi ini membagi MG menjadi 5 kelas utama dan subclass beberapa, sebagai berikut.
Terdapat klasifikasi menurut osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi : 4 1.
Ocular miastenia terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2.
Generalized myiasthenia a) Mild generalized myiasthenia
11
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik. b) Moderate generalized myasthenia Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan. 3.
Severe generalized myasthenia Acute fulmating myasthenia Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
4.
Late severe myasthenia Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun. 1
2.8. Diagnosis Miastenia Gravis A.
Anamnesis Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
B.
Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas fisik?
Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat? Apakah muncul ptosis? Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala? Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian ke truncal dan anggota tubuh? Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama?
Pemeriksaan Fisik Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. b. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. c. Uji kelelahan otot Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson). Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih keatas ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis, mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot. Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan kelopak mata secara volunter. 1 Muscle Grading Chart Musle Gradation Description
12
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh 4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang 3-sedang ROM penuh melawan gravitasi 2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi 1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi 0-nol Tanpa kontraksi Tes Lainnya : 9 a.
Tensilon atau Prostigmin tes Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 9
b.
Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
C.
miastenik tidak bertambah berat. 9 Pemeriksaan Laboratorium a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut: Tabel 3. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis. Osserman Class R I IIA IIB III IV
Mean antibodi Titer 0.79 2.17 49.8 57.9 78.5 205.3
1
Percent Positive 24 55 80 100 100 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized,III = acute severe, IV = chronic severe Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis. b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkanhasil positif.
13
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. 1 Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. 1 d. Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma D.
pada pasienmuda dengan miastenia gravis. 1 Imaging a. Chest x-ray foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. 7 Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. 7 b. MRI Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. 7
2.9. Differensial diagnosis Miastenia Gravis Gangguan dari neuromuskuler junction (NMJ) secara klinis heterogen. Ekspresi klinis dari gangguan ini adalah fitur miasthenik dalam bentuk kelemahan otot variabel dan kelelahan.Miasthenik sindrom (MS) diberikan kepada sekelompok gangguan dari NMT dengan patofisiologi yang berbeda dari yang ada pada myasthenia gravis autoimun.
4
1. Lambert-Eaton miasthenik sindrom (LEMS) Sindrom Lambert-Eaton miasthenik (LEMS) adalah suatu kondisi yang jarang terjadi dandisebabkan oleh kelainan pelepasan asetilkolin (AcH) pada sambungan neuromuskuler terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulutkering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama cell carcinoma pada paru.EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi padafrekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolintidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran post sinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. 4 2. Botulisme Efek dari racun ini terbatas untuk blokade terminal perifer saraf kolinergik, termasuk neuromuskuler junction, postganglionik ujung saraf parasimpatik, dan ganglia perifer. Blokade ini menghasilkan karakteristik penurunan kelumpuhan bilateral dari otot yang diinervasi oleh saraf otonom cranial, tulang spinal, dan kolinergik tetapi tidak terdapat penurunan saraf adrenergik atau sensoris. Botulisme memiliki pola berat, progresif, dan simetris. 2.10.
4
Penatalaksanaan Miastenia Gravis
Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa faktor
14
(misalnya, tingkat keparahan, distribusi, kecepatan perkembangan penyakit) harus dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah. 1 Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin intravena (IVIG).
1
Plasmapheresis dan thymectomy juga digunakan untuk mengobati MG. Mereka bukan merupakan terapi tradisional imunomodulasi medis, tetapi mereka berfungsi dengan cara memodifikasi sistem kekebalan tubuh. Thymectomy merupakan pilihan pengobatan yang penting untuk MG, terutama jika terdapat thymoma.
1
MG adalah penyakit kronis yang dapat secara akut akan memburuk selama beberapa hari atau minggu. Pengobatan memerlukan evaluasi kembali yang terjadwal dan hubungan dokter-pasien yang dekat. Pasien dengan MG memerlukan perawatan ketat bekerja sama dengan dokter. 1 Intubasi dan unit perawatan intensif (ICU) biasanya dilakukan pada pasien myasthenic krisis dengan gagal pernapasan. Kegagalan pernapasan yang cepat dapat terjadi jika pasien tidak diawasi dengan benar. Pasien harus diawasi sangat hati-hati, terutama pada eksaserbasi, dengan mengukur kekuatan inspirasi negatif dan kapasitas vital. Setelah pasien dengan dugaan MGC telah diidentifikasi, langkah segera harus diambil untuk mengintubasi pasien. Hal ini harus dilakukan melalui intubasi oral cepat. Pasien harus disiapkan O2 mask sampai saturasi oksigen arteri 97%. IV normal saline harus tetes cepat untuk menghindari hipotensi yang berhubungan dengan intubasi. Pemantauan tekanan darah terus menerus adalah wajib. Etomidate adalah agen anestesi umum digunakan pada dosis IV bolus 0,2 hingga 0,3 mg / kg. Agen paralitik harus dihindari kecuali mutlak diperlukan karena pasien MG sensitif terhadap efek mereka. Jika perlu, agen nondepolarizing seperti vecuronium lebih bagus. Pengaturan ventilator harus dioptimalkan untuk memungkinkan pasien istirahat dan mambantu ekspansi paru. Disarankan mulai dengan kontrol assist (AC) dengan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) 5 cm H2O, volume tidal rendah (6 mL / kg berat badan ideal), dan tingkat pernapasan 12 sampai 16/min. Meskipun dahulu, tidal volum yang besar (12 ml / kg) direkomendasikan untuk pasien MG, literatur baru menunjukkan bahwa tidal volume rendah (6 mL / kg) dan frekuansi pernapasan yang lebih cepat (12-16 napas / menit) dapat membantu menghindari cedera paru pada pasien yang terintubasi. 2
15
Bagan 1. Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis.
Diagnosis MG
MG okular
MG generalisata
MG krisis
MRI kepala (+)→ reasses
Antikolinestera se (pyridostigmin
Intensive care unit
Antikolinestera se (pyridostigmin
Evaluasi untuk thimektomi Indikasi : thimoma atau MG generalisata Evaluasi resiko
Jika tidak memuaskan
Resiko bagus FVC bagus
Resiko jelek FVC jelek
Thimektomi
Plasmaparesis atau IVIg
perbaika n
Evaluasi status klinis, immunosupresan bila ada indikasi
Tidak ada perbaika
Imunosupresan Sumber : Braunwald, Fauci, Ha, Longo, Jameson. Harrison’s : Principle of Internal Medicine 16th ed. McGraw Hill. 2005 A.
Kolinesterase inhibitor a. Pyridostigmine Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar sekretori, di mana kerjanya memblok AChE. agen intermediate-acting, lebih disukai dalam penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida neostigmine dan “long acting” klorida ambenonium. bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 36 jam. MG tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi, obat diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg / 5 ml sirup. Efek dari tablet timespan bertahan 2,5 kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai adjuvan pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic
pada malam hari. Penyerapan dan
1
b.
bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien. Neostigmine Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai
16
untuk jalur IV, intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap c.
dalam saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak ada. 1 Edrophonium Edrophonium terutama digunakan sebagai alat diagnostik untuk memprediksi respon terhadap long-acting cholinesterase inhibitor. Seperti cholinesterase inhibitor lain, edrophonium menurunkan metabolisme AcH,
B.
meningkatkan efek kolinergik di NMJ. 1 Kortikosteroid Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di antara para agen imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih sering digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau berat yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan mungkin terjadi awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu. Agen ini biasanya diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun. Remisi didapatkan 30% dan perbaikan 40%. Kortikosteroid bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG generalisata. Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif lainnya untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi yang lebih singkat. 1 a. Prednisone Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika Serikat. Beberapa ahli percaya bahwa istrasi jangka panjang dari prednison bermanfaat, tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama eksaserbasi akut untuk membatasi efek yang merugikan dari penggunaan steroid lama. Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan menekan pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis sering tidak terlihat selama beberapa minggu. Peningkatan signifikan, yang mungkin berhubungan dengan b.
titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4 bulan. 1 Methylprednisolone Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada mereka tidak dapat mentoleransi asupan oral. Ini mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan
C.
membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler. 1 Imunosupresan a. Azatioprin Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroid-sparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada b.
kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi. 1 Mycophenolate mofetil sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan efek maksimal obat ini biasanya dirasakan sekitar 6 bulan. Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak
c.
dianjurkan. 1 Cyclosporine Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari; setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).
1
17
18
D.
Imunoglobulin IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan berat yang kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti dari pertukaran plasma dengan dosis 1 g / kg. IVIG efektif dalam MG sedang atau berat yang memburuk menjadi krisis. Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun mekanisme kerja tidak diketahui. Hal ini digunakan dalam manajemen krisis (misalnya, myasthenic krisis dan periode perioperatif) bukan atau dalam kombinasi dengan plasmapheresis. Seperti plasmapheresis, ia memiliki onset yang cepat, tetapi efek
E.
berlangsung hanya dalam waktu singkat. 1 Plasmaparesis Plasmapheresis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan menghilangkan faktor humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini digunakan sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat untuk manajemen krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadit dalam beberapa hari, tetapi tidak berlangsung lebih dari 2 bulan. Plasmaferesis merupakan terapi efektif untuk MG, terutama dalam persiapan untuk operasi atau jangka pendek pengelolaan eksaserbasi. Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau bulanan bisa digunakan bila pengobatan lain tidak dapat mengendalikan penyakit ini. Komplikasi terutama terbatas pada komplikasi intravena (IV) akses (misalnya, penempatan garis pusat) tetapi juga dapat mencakup gangguan hipotensi dan koagulasi (meskipun jarang). 1
F.
Thimektomi Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis (MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan sebagai terapi lini pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia gravis (MG) umum. Thimectomi dapat menyebabkan remisi. American Association of Neurology merekomendasikan thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis (MG) autoimun. Thimectomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan. 1
2.11.Komplikasi Miastenia Gravis
19
Terapi imunomodulasi jangka panjang dapat mempengaruhi pasien dengan MG berbagai komplikasi. Penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan atau memperburuk osteoporosis, katarak, hiperglikemia, peningkatan berat badan, nekrosis avaskular dari pinggul, hipertensi, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya. Penggunaan steroid jangka panjang juga meningkatkan risiko gastritis atau penyakit ulkus peptikum. Pasien pada terapi tersebut harus mengambil -blocker H2 atau antasida juga. Beberapa komplikasi yang umum untuk terapi imunomodulasi, terutama jika pasien pada lebih dari 1 agen. Ini akan mencakup infeksi seperti TBC, infeksi jamur sistemik, dan Pneumocystis carinii pneumonia. Risiko keganasan limfoproliferatif dapat ditingkatkan dengan imunosupresi kronis. Obat imunosupresif mungkin memiliki efek teratogenik. 2.12.
Prognosis Miastenia Gravis a.
Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b.
MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c.
40% hanya gejala okuler. Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, > 50% kasus berkembang ke myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu
satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut ratarata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai generalized myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis (MG) menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.
1
20
BAB III KESIMPULAN Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang paling banyak berperanan. Gejala awal biasanya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata . Ptosis biasanya yang paling menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Klasifikasi Miastenia gravis dapat dibagi berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) yang terbagi dalam 5 kelas dan menurut osserman terbagi dalam 4 tipe. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Lab penunjang. Tujuan pengobatan myasthenia gravis (MG) adalah untuk mencapai tiga tujuan penting: transmisi neuromuskuler yang optimal, mengurangi atau menetralisir konsekuensi dari reaksi autoimun, dan memodifikasi riwayat alami myasthenia gravis (MG) dengan menginduksi remisi, didefinisikan sebagai kondisi permanen hilangnya gejala tanpa pengobatan Prognosis : tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%, MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%, 40% hanya gejala okuler.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Goldenberg,
William.
Myasthenia
Gravis.
20
Januari
2012.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 28 September 2015. 2.
Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical Journal. 2008; 101: 1: 69-63.
3.
Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle & Nerve. 2004; 29: 505-484.
21
4.
Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction. In: Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victor’s : Principles of Neurology 8th ed. McGraw Hill. 2005; 53: 1264-1250.
5.
Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis: clinical, immunological, and therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 141-134.
6.
Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku Kedokteran Dorland. 25 ed. EGC. 1998: 723.
7.
Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular Junction Kasper. In: Braunwald, Fauci, Ha, Longo, Jameson. Harrison’s : Principle of Internal Medicine 16 th ed. McGraw Hill. 2005; 366: 2523-2518.
8.
Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1st ed. Thieme. 2003: 239-238
9.
Myasthenia
Gravis
&
Neuromuscular
Junction
(NMJ)
Disorders.
Diunduh
dari
http://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html#acquiredmg, 28 September 2015. 10. Juel , V. C., & Massey , J. M. (2007). Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases, 1-13. 11. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
22