QIYAS DALAM PANDANGAN HUKUM DALAM ISLAM Al Quran dan hadith adalah sumber asasi bagi ilmu fiqh Islam, yang mana permulaannya ialah pada zaman Rasulullah. Sumber ini bertambah mengikut peredaran masa dan bidang luas ilmu fiqh. Selain al-Quran dan hadis ialah pendapat Rasulullah yang dinamakan ijma’. Maksud dengan ijma’ ialah persetujuan atau permuafakatan ulama di atas satu perkara atau hukum yang tidak ada nas dari al-Quran dan hadis pada satu-satu masa. Di sana ada juga al-Qiyas. Ini kerana hukum syarak pada gholibnya mempunyai beberapa ‘ilah atau sebab-sebab yang boleh diketahui. Apabila ada hukum yang dinaskan, maka bolehlah dipindahkan hukum itu kepada perkara yang tidak ada nas jika ada ‘ilahnya. Ini seperti wajib zakat pada padi adalah diqiyaskan daripada gandum. Ini kerana ada sama pada ‘ilatnya iaitu mengeyangkan dan tahan disimpan. Maka dapat dibuat kesimpulan, bahawa al-Quran, hadis, al-Ijma’ dan alQiyas adalah sumber hukum yang terus hidup subur dan menjadi perbendaharaan besar yang membuka luas pintu bidang ilmu fiqh Islam. Ia menambah perbendaharaan dan kekuatan dalam hukum Islam. Pada tahun 100 Hijrah iaitu pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, beliau menghantar ulama dan fuqaha’ ke seluruh negara. Seterusnya, kerajaan Bani Ummaiyah hilang, timbul pula kerajaan bani Abbasiyah. Selain itu, berlaku pertelingkahan antara orang ‘Alawiyyin dengan orang ‘Abasiyyin. Begitu juga antara Syiah dan Khawarij.
Turut berlaku pada masa itu, penyambungan antara pemikiran orang Arab dan Yunani iaitu sebagai natijah daripada terjemahan dan pemindahan ilmu pengetahuan. Pada masa itu juga mula disusun sunnah nabi, fatwa dan pendapat ulama. Ilmu fiqh pada waktu itu masyhur ke seluruh pelusuk negeri. Ramai orang yang mengikutnya dan beramal dengannya. Sebagai natijahnya lahirlah beberapa golongan atau pengikut fuqaha.
Qiyas dan Kehujjahannya. Artinya Mengukur, membandingkan, mempersamakan sesuatu dengan yang lain karena adanya persamaan. Istilah : menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nas dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nas. Qiyas bisa dilakukan dengan oleh individu. Sedangkan ijma adalah para mujtahid. Contoh Qiyas. 1. Setiap minuman yang memabukan co mensen, sabu-sabu dll disamakan dengan khamar, ilatnya sama-sama memabukan. 2. Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta dewasa. Menurut syafei karena sama-sama dapat tumbuh da berkembang, dan dapat ,enolong fakir miskin. 3. Mengatakan telmi kepada ortu disamakan dengan membentak dan ah, karena ilatnya sama-sama menyakiti dengan ucapan.
MACAM-MACAM QIYAS. o Qiyas Aula. o Qiyas Musawi. o Qiyas Dilalah. o Qiyas Syibhi. Dalil Qiyas : diantaranya :Qs : Al Hasr : 2 ) Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. Artinya : qiyaskanlah dirimu dengan mereka.kamu adalah seperti mereka. Perbuatanm sama dengan perbuatan mereka. Dalam sebuah Riwayat: pernah ada sahabt Nabi Yang Bernama Jariyah Khusyamiyah bertanya kepada Rasul “ Wahai Rasulullah ayahku adalah seorang yang sangat tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji untuk dia, apakah ada manfaat bagi dia ? “ Rasul menjawab : “ bagaimanakah pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang dan kamu yang memnbayar hutang itu. Apakah yang demikian itu bermanfaat baginya ? Jariah menjawab : “ ya.” Kemudian Rasulullah bersabda :” Hutang kepada Allah itu lebih berhak dibayarkan.” Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada halhal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasanalasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata. 3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa bentengbenteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangkasangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2) Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya
para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak. Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah. Proses penerapan hukum melalui metode kias bukanlah permulaan menentukan hukum sesuatu melainkan menggali hukum yang ada pada suatu permasalahan yang belum jelas hukumnya melalui penelitian dan pembahasan mendalam tentang ilat permasalahan tersebut. Kesamaan ilat antara satu permasalahan dengan yang lainnya yang ada nas
nya dalam al Qur’an dan hadist dapat menyebabkan adanya kesatuan hukum. Contohnya sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh an Nasa’i dan al Baihaki tentang tidak bolehnya seorang pembunuh mendapatkan bagian warisan (dari orang yang dibunuhnya). Yang menjadi ilat nya adalah “upaya pembunuhan yang dilakukan untuk mempercepat mendapatkan warisan”, ilat ini terdapat juga dalam kasus “seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya”. Sehingga orang yang membunuh orang yang berwasiat kepadanya dihukumkan sama dengan hukum orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama tidak boleh memperoleh harta warisan dan harta wasiat. Adapun rukun dan syarat ilat yaitu :
Rukun Qiyas: 1) Al asl (obyek hukum yang ada nasnya) Al asl merupakan obyek yang telah ditetapkan hukumnya di dalam al Qur’an dan hadist. Hukum al asl berisi hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan; ditetapkan berdasarkan syara’; al asl tersebut bukan merupakan al far’ dari al asl yang lainnya; dalil yang menetapkan ilat pada al asl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum; dan al asl tidak berubah setelah dilakukan kias. 2) Al far’ (kasus yang akan ditentukan hukumnya) Kasus yang akan ditentukan hukumnya ilatnya harus sama dengan ilat yang ada pada al asl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya; Setelah dilakukan kias, hukum al asl tidak berubah; Al far’ tidak mengandung hukum yang tidak mendahuluihukum al asl artinya hukum al far’ harus datang kemudian dari hukum
al asl; Tidak ada nas atau ijmak yang menjelaskan hukum al far’, artinya tidak ada nas atau ijmak yang menjelaskan hukum al far’ dan hukum itu bertentangan dengan kias, karena jika demikian maka status kias itu bisa bertentangan dengan nas dan ijmak. 3) Ilat (motivasi hukum) Syarat-syarat ilat antara lain Ilat atau motivasi hukum itu merupakan sifat yang sesuai dengan hukum, artinya ilat yang ditentukan berdasarkan analisa terhadap hukum sesuai dengan hukum itu sendiri; ilat itu nyata dan jelas (bisa ditangkap indra manusia), karena ilat merupakan pertanda adanya hukum; ilat itu merupakan sifat yang dapat diukur untuk setiap orang, yaitu memiliki hakekat tertentu dan terbatas, tidak berbeda untuk setiap orang dan keadaan; ilat itu bisa diterapkan pada kasus yang akan ditentukan hukumnya, bukan terbatas untuk obyek hukum yang ada nasnya, karena jika demikian kias tidak bisa dilaksanakan. Diantaranya tentang hukum-hukum khusus yang ditentukan untuk Rasulullah Saw, seperti menikahi wanita lebih dari empat orang atau tanpa mahar, ilat hukum ini tidak bisa diterapkan pada obyek lain, karena ilat itu terbatas pada Rasullah Saw saja. 4) Hukum al asl (hukum yang telah ditentukan nas) Hukum yang telah ditentukan nas tidak bersifat khusus, dalam arti tidak bisa dikembangkan kepada kasus yang akan ditentukan hukumnya; Hukum al asl itu tidak keluar dari ketentuan kias sebab jika suatu hukum ditetapkan berbeda dari kaidah kias maka hukum lain tidak boleh dikiaskan kepada hukum itu karena diantaranya tidak bisa di nalar (ghair ma’qul al ma’na), hukum itu merupakan
hukum pengecualian yang disyari’atkan sejak semula seperti adanya rukhsah dalam ibadah karena adanya kesulitan atau masyakkah. Maka dapat dibuat kesimpulan, bahawasanya Al-Quran, Al-Hadis, Al-Ijma dan Al-Qiyas merupakan sumber-sumber hukum yang terus hidup subur dan menjadi perbendaharaan yang besar yang membuka luas pintu-pintu bidang ilmu fiqh Islam, ia menambah perbendaharaan, kekuatan dalam hukum-hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Falsafah%20At%20Tasyri %27%20Sebagai%20Dasar%20Pembinaan%20Hukum-1.pdf http://katabimacahya.blogspot.com/2009/06/sumber-hukum-islam.html Abdul Azis dahlan (ed), : Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-5, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoevo dan Bintang warna Scan, 2001) Ghufran A. Mas’adi, Pemikiran Fazrurrahman tentang Metodologi Pembahruan Hukum Islam, Cet. Ke-2 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998) Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Thuruq al Khukmiyyah fi al Siyasah al syar’iyyah, Penerjemah : Adnan Qohar, Drs. S.H. Anshoruddin, Drs. S.H. MA., Hukum Acara Peradilan Islam, (Jogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007) Musthafa Al Siba’i, Dr., Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah : Nurcholis Majid Cet. I (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991) Rifyal Ka’bah,. Dr. MA : Penegakan syariat Islam di Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta : Khairul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2004) Said Agil Husin Al Munawar, Prof. Dr. MA., Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta : Penamadani, 2004);