HUBUNGAN PERSEPSI CUCI TANGAN DENGAN KEPATUHAN CUCI TANGAN KELUARGA PASIEN DI RSUD UNGARAN KABUPATEN SEMARANG Sartika Sofia Suryaningtyas*) Mona Saparwati**)Umi Aniroh**) ABSTRAK Kejadian infeksi nosokomial dapat menyebabkan turunnya kualitas mutu pelayanan medis. Salah satu upaya pencegahan dan pengendaliannya adalah menjalankan mencuci tangan pada setiap penanganan pasien di rumah sakit. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu atau keluarga pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya infeksi nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. Desain penelitian ini deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional Populasi penelitian keluarga (yang menunggu) pasien sebanyak 194 dengan sampel 66 responden menggunakan teknik proportionate simple random sampling. Alat pengambilan data menggunakan kuesioner dan analisis data yang digunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan persepsi cuci tangan keluarga pasien sebagian besar kategori negatif (56,1%), keluarga pasien sebagian besar kategori tidak patuh (78,8%). Ada hubungan persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang dengan p value sebesar 0,042 < α (0,05). Sebaiknya perawat meningkatkan pelayanannya bagi pasien dan keluarga pasien khususnya dalam memberikan informasi dan edukasi sehingga persepsi dan perilaku kepatuhan keluarga pasien untuk melakukan cuci tangan semakin meningkat. Kata Kunci : persepsi cuci tangan, kepatuhan cuci tangan, keluarga pasien Kepustakaan: 35 (2006-2015)
The Correlation between Hand Washing and the Obedience of Hand Washing on Patient’s Family at RSUD Ungaran Semarang Regency Sartika Sofia Suryaningtyas*) Mona Saparwati**)Umi Aniroh**) ABSTRACT The incidence of nosocomial infections can cause a decline in the quality of medical service quality. One of the effors to prevent and control is by doing hand washing every time management of patients in hospitals. Patients, health care workers, visitors and relatives of patients have the highest risk of nosocomial infection, because the infection can be transmitted from patient to health care workers, patients or visitors to the family or patient. The aim of this study is to know the correlation between hand washing and the obedience of hand washing on patient’s family at RSUD Ungaran Semarang Regency The research design was descriptive correlation with cross sectional study, the population of this study were patient’s family with 194 patients and sample of 66 respondents by using proportionate simple random sampling. The data retrieval used questionnaires and the data analysis used chi square test. The results show that patient’s family perception is mostly in negative category (56,1%), the patient's family is mostly in non-compliance category (78,8%). There is correlation between hand washing and the obedience of hand washing on patient’s family at RSUD Ungaran Semarang Regency with p value 0,042 < α (0,05). Nurses should improve services for patients and their families, especially in providing information and education to increase the preceptions and behavior of patient's family about hand washing. Keywords : preception of hand washing, hand washing obedience, patient's family Bibliographies : 35 (2006-2015)
PENDAHULUAN Latar Belakang Suatu survei prevalensi meliputi 55 rumah sakit dari 14 negara berkembang empat wilayah WHO (Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% dari pasien 558 rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Jadi pada setiap saat, terdapat 1,4 juta pasien di seluruh dunia terkena komplikasi infeksi yang didapat di rumah sakit. Pada survei ini frekuensi tertinggi infeksi nosokomial dilaporkan dari rumah sakit di Timur Tengah dan Asia Tenggara, masing-masing sebesar 11,8% dan 10,0% (Tietjen, Bossemeyer & Mc Intosh, 2008). Angka kejadian untuk infeksi nosokomial di negara berkembang, seperti Indonesia, menjadi perhatian di sejumlah rumah sakit karena angka kejadiannya masih tinggi (Darmadi, 2008). Hasil penelitian pada 11 rumah sakit di Jakarta pada tahun 2008 menunjukkan 9,8% pasien rawat inap mengalami infeksi nosokomial, sedangkan di Jawa Tengah dengan jumlah pasien 1.423 pasien dari jumlah pasien berisiko 163.417 (10,63%) (Sutrisno, 2009). Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks. Kompleksitasnya tidak hanya dari segi jenis dan macam penyakit yang harus memperoleh perhatian dari para dokter (medical provider) untuk menegakkan diagnosis dan menentukan terapinya (upaya kuratif). Hal lain yang merupakan kompleksitas sebuah rumah sakit adalah datangnya sejumlah orang yang secara bersamaan di rumah sakit, sehingga rumah sakit menjadi sebuah “gedung pertemuan”. Sejumlah orang tersebut secara serempak dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung mempunyai kepentingan dengan penderita atau menjenguk orang yang sedang dirawat di rumah sakit (Darmadi, 2008). Proses penularan pada infeksi nosokomial ini bisa terjadi melalui cara silang (cross-infection) dari satu pasien ke pasien lainnya atau infeksi diri sendiri (auto infection atau self infection) dimana kuman yang sudah ada pada satu pasien mengalami migrasi atau gesekan pindah tempat dan di tempat baru inilah terjadi infeksi. Pencegahan penularan penyakit infeksi (infeksi nosokomial)
tergolong sulit, khususnya dalam mencegah terjadinya “cross infection” atau infeksi silang dari orang yang berkunjung tersebut ke pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kematian di rumah sakit, sehingga dapat menjadi masalah kesehatan baru (Zulkarnain, 2006). Tingginya angka kejadian infeksi nosokomial dapat menyebabkan turunnya kualitas mutu pelayanan medis, sehingga perlu adanya upaya pencegahan dan pengendaliannya. Cara paling ampuh untuk mencegah infeksi nosokomial adalah dengan menjalankan Universal Precaution yang salah satunya adalah dengan mencuci tangan pada setiap penanganan pasien di rumah sakit (Saragih & Rumapea, 2012). Mencuci tangan dapat menurunkan 20%-40% kejadian infeksi nosokomial. Pelaksanaan cuci tangan itu sendiri belum mendapat respon yang maksimal. Kegagalan dalam pelaksanaan cuci tangan di negara berkembang sering dipicu oleh keterbatasan dana untuk mengadakan fasilitas cuci tangan. Setelah ada dana, kendala berikutnya yang memprihatinkan adalah kurangnya kepatuhan untuk mentaati prosedur (James, Baker dan Swain 2008). Mencuci tangan merupakan kegiatan yang penting bagi lingkungan tempat klien dirawat, termasuk rumah sakit (Rikayanti, 2014). Mencuci tangan merupakan rutinitas yang murah dan penting dalam pengontrolan infeksi, dan merupakan metode terbaik untuk mencegah transmisi mikroorganisme. Tindakan mencuci tangan telah terbukti secara signifikan menurunkan infeksi. Mencuci tangan merupakan tindakan yang paling efektif untuk mengontrol infeksi nosokomial (infeksi yang berasal dari rumah sakit) dan didefinisikan sebagai menggosok seluruh permukaan kedua tangan menggunakan sabun dengan kuat dan bersamaan (Berman, Barry dan Evans & Joel, 2009). Tujuan mencuci tangan diantaranya untuk menghilangkan mikroorganisme yang bersifat sementara yang mungkin dapat ditularkan ke perawat, klien, pengunjung, atau tenaga kesehatan lain (Berman, Barry dan Evans dan Joel, 2009). Setiap klien
mempunyai mikroorganisme yang saat ini tidak membahayakan bagi klien, namun dapat membahayakan bagi pengunjung. Seorang pengunjung atau klien itu sendiri rentan terhadap masuknya mikroorganisme, jika tubuh orang tersebut terdapat pintu masuk yang dapat digunakan untuk jalan masuk mikroorganisme tersebut. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya infeksi nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke pasien (Rikayanti, 2014). Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Awalnya individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Kelman, 1958; dalam Sarwono, 2007). Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya (Kelman, 1958; dalam Sarwono, 2007). Kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa karakteristik perawat itu sendiri. Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri pribadi yang
dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun sakit. Karakteristik perawat meliputi variabel demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, motivasi dan persepsi (Adiwimarta, 2009). Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-lain. Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif, kemudian diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh masingmasing individu. Muncul persepsi yang berbeda tentang protap tersebut, sehingga kepatuhan individu didalam pelaksanaan protap tersebut juga akan berbeda (Arumi, 2012). Program cuci tangan di RSUD Ungaran yang sudah sejak tahun 2010 yang dikenakan kepada petugas kesehatan dan keluarga pasien yang menjenguk atau menunggu. Pihak rumah sakit sudah melakukan berbagai upaya untuk pelaksanaan program tersebut diantaranya menyediakan botol handrub disetiap depan kamar pasien bangsal, disetiap pasien ruang ICU maupun setiap area rumah sakit. Pihak rumah sakit juga melakukan sosialisasi cuci tangan untuk semua elemen yang ada di rumah sakit. Pihak rumah sakit juga sudah melakukan sosialisasi pelaksanaan ini kepada pengunjung rumah sakit (keluarga pasien). Akan tetapi sampai saat ini kepatuhan terutama keluarga pasien melakukan cuci tangan masih kurang, dimana masih banyak dari mereka yang tidak melakukannya. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh faktor persepsi tentang kegunaan handrub khususnya terkait dengan pengobatan pasien yang rendah, ketidakpedulian ataupun penilain mereka yang rendah tentang cuci tangan. Hal ini bisa menjadi tantangan yang cukup besar bagi tim pengendali infeksi
rumah sakit untuk mempromosikan program cuci tangan ini (Perdalin, 2010). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan April 2016 di RSUD Ungaran untuk melakukan pengukuran persepsi cuci tangan dan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien menggunakan kuesioner sederhana terhadap 10 orang keluarga pasien diperoleh 7 orang tidak patuh dalam melakukan cuci tangan dimana 5 orang mempunyai persepsi yang positif terhadap cuci tangan (menyatakan setuju bahwa mencuci tangan mencegah infeksi silang, melindungi diri dan pasien dari infeksi dan memberikan perasaan segar dan bersih) dan 2 orang mempunyai persepsi yang negatif tentang cuci tangan (menyatakan tidak setuju bahwa mencuci tangan mencegah infeksi silang, melindungi diri dan pasien dari infeksi dan memberikan perasaan segar dan bersih). Peneliti juga mendapatkan 3 orang patuh dalam melakukan cuci tangan dimana seorang mempunyai persepsi yang positif terhadap cuci tangan (menyatakan setuju bahwa mencuci tangan mencegah infeksi silang, melindungi diri dan pasien dari infeksi dan memberikan perasaan segar dan bersih) dan 2 orang mempunyai persepsi yang negatif tentang cuci tangan (menyatakan tidak setuju bahwa mencuci tangan mencegah infeksi silang, melindungi diri dan pasien dari infeksi dan memberikan perasaan segar dan bersih). Hal tersebut menunjukkan masih banyak keluarga pasien yang tidak patuh untuk melakukan cuci tangan ketika berada di area rumah sakit. Sementara pihak rumah sakit sudah memberikan fasilitas dan informasi terkait dengan kepatuhan melakukan cuci tangan. Hasil penelitian Ruci (2013) tentang gambaran tingkat kepatuhan perawat akan cuci tangan dalam terapi oksigen dan tingkat kejadian pneumonia periode tahun 2012 dan tahun 2013 di RSUD Dr. Rubini Mempawah, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan perawat dalam mencuci tangan. Perumusan Masalah Adakah hubungan antara persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang?.
Hipotesis Ada hubungan persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga (yang menunggu) pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang, yang dihitung berdasarkan jumlah bed sehingga jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 194 responden (Data sampai bulan Juli 2016) dengan sampel sebesar 66 orang. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah proportionate simple random sampling. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Persepsi Cuci Tangan Keluarga Pasien Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi Cuci Tangan Keluarga Pasien Persepsi Cuci (f) (%) Tangan Negatif 37 56,1 Positif 29 43,9 Jumlah 66 100,0 Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa persepsi cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang sebagian besar kategori negatif yaitu sebanyak 37 orang (56,1%). 2. Gambaran Kepatuhan Cuci Tangan Keluarga Pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Cuci Tangan Keluarga Pasien Kepatuhan (f) (%) Cuci Tangan Tidak patuh 52 78,8 Patuh 14 21,2 Jumlah 66 100,0 Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang sebagian besar kategori tidak patuh yaitu sebanyak 52 orang (78,8%).
Tabel 3 Tabulasi Silang Persepsi Cuci Tangan dan Kepatuhan Cuci Tangan Keluarga Pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang Kepatuhan cuci tangan Persepsi cuci tangan Negatif Positif Jumlah
Tidak patuh
Patuh
Total
f 33
% 89,2
F 4
% 10,8
f 37
% 100,0
19
65,5
10
34,5
29
100,0
52
78,8
14
21,2
66
100,0
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang, diperoleh hasil responden yang mempunyai persepsi cuci tangan kategori negatif sebanyak 37 orang dimana sebagian besar tidak patuh melakukan cuci tangan yaitu sebanyak 33 orang (89,2%) lebih banyak dari pada yang patuh melakukan cuci tangan yaitu sebanyak 4 orang (10,8%). Responden yang mempunyai persepsi cuci tangan kategori positif sebanyak 29 orang dimana sebagian besar tidak patuh melakukan cuci tangan yaitu sebanyak 19 orang (65,5%) lebih banyak dari pada yang patuh melakukan cuci tangan yaitu sebanyak 10 orang (34,5%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan p value sebesr 0,042 (α = 0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan antara persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. PEMBAHASAN A. Gambaran Persepsi Cuci Tangan Keluarga Pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang kategori negatif sebanyak 37 orang (56,1%). Keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang yang mempunyai persepsi cuci tangan kategori negatif menyatakan tidak setuju cuci tangan menggunakan alkohol secara merata dapat membunuh bakteri (62,1%), cuci tangan dengan ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dapat membunuh bakteri secara mendalam (56,1%), cuci tangan dilakukan setelah kontak
p-value 0,042
dengan pasien mencegah penularan penyakit (74,2%) Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi (Sunaryo, 2014). Persepsi merupakan pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya melalui stimulus yang diterimanya (Notoatmodjo, 2010). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris (Walgito, 2010). Keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang yang mempunyai persepsi cuci tangan kategori negatif disebabkan oleh faktor the person perceived (diri yang diamati). Setiap individu berusaha membuat penilaian terhadap sesuatu yang diamati dengan memberikan perhatian (atensi). Status dan kedudukan dari orang yang diamati secara sadar atau tidak sadar seringkali mempengaruhi penilaian seseorang dan selanjutnya mempengaruhi penilaian seseorang dan selanjutnya mempengaruhi perilaku dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini akan menjadi sesuatu yang bersifat objektif karena hasil pengamatan hanyalah berdasarkan penilaian awal dalam diri objek yang selanjutnya akan mempengaruhi persepsi dan pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku terhadap objek tersebut (Milton, 2011).
B. Gambaran Kepatuhan Cuci Tangan Keluarga Pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang kategori tidak patuh sebanyak 52 orang (78,8%). Keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang kategori tidak patuh cuci tangan, dimana mereka menjawab tidak menggosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan, dan sebaliknya (47,0%), tidak mengeringkan dengan handuk atau tissue sekali pakai sampai tangan benarbenar kering (48,5%). Kepatuhan merupakan perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Kepatuhan petugas profesional (petugas kesehatan) adalah anggapan atau interpretasi sejauh mana perilaku seorang petugas kesehatan sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan petugas kesehatan ataupun pihak rumah sakit (Niven, 2012). Mencuci tangan adalah mencuci tangan dengan menggunakan air, menggunakan sabun antiseptik dan handrub berbasis alkohol cara ini merupakan cara efektif untuk mengontrol infeksi. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan jumlah mikroorganisme yang ada di tangan, perpindahan mikroorganisme ke pasien, resiko kontaminasi silang antara pasien, dan resiko perpindahan organisme sumber infeksi ke diri keluarga pasien dan pasien (Aryani, 2009). Keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang kategori tidak patuh cuci tangan disebabkan oleh faktor akomodasi. Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Orang yang lebih mandiri, harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan sementara pasien yang tingkat ansietasnya tinggi harus diturunkan terlebih dahulu. Tingkat ansietas yang terlalu tinggi atau rendah, membuat kepatuhan seseorang berkurang (Niven, 2012). C. Hubungan Antara Persepsi Cuci Tangan dengan Kepatuhan Cuci Tangan Keluarga Pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai χ2 hitung (4,307) > χ2 tabel (3,84) dan p value sebesar 0,042 (α
= 0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan antara persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kematian di rumah sakit, sehingga dapat menjadi masalah kesehatan baru baik di negara berkembang maupun di negara maju (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial dapat terjadi di semua tempat layanan keperawatan (kamar, ruangan/bangsal), namun frekuensi dan intensitas lebih banyak terjadi di ruangan/ bangsal perawatan dari pada di kamar perawatan. Tingginya angka kejadian infeksi nosokomial dapat menyebabkan turunnya kualitas mutu pelayanan medis, sehingga perlu adanya upaya pencegahan dan pengendaliannya (Darmadi, 2008). Cara paling ampuh untuk mencegah infeksi nosokomial adalah dengan menjalankan Universal Precaution yang salah satunya adalah dengan mencuci tangan pada setiap penanganan pasien di rumah sakit (Saragih & Rumapea, 2012). Mencuci tangan merupakan rutinitas yang murah dan penting dalam pengontrolan infeksi, dan merupakan metode terbaik untuk mencegah transmisi mikroorganisme. Tindakan mencuci tangan telah terbukti secara signifikan menurunkan infeksi (James, Baker dan Swain, 2008). Mencuci tangan merupakan tindakan yang paling efektif untuk mengontrol infeksi nosokomial (infeksi yang berasal dari rumah sakit) dan didefinisikan sebagai menggosok seluruh permukaan kedua tangan menggunakan sabun dengan kuat dan bersamaan (Berman, Barry, Evans dan Joel, 2009). Tujuan mencuci tangan diantaranya untuk menghilangkan mikroorganisme yang bersifat sementara yang mungkin dapat ditularkan ke perawat, klien, pengunjung, atau tenaga kesehatan lain. Setiap klien mempunyai mikroorganisme yang saat ini tidak membahayakan bagi klien, namun dapat membahayakan bagi pengunjung. Seorang pengunjung atau klien itu sendiri rentan terhadap masuknya mikroorganisme, jika tubuh orang tersebut terdapat pintu masuk yang dapat digunakan untuk jalan masuk mikroorganisme tersebut (Rikayanti, 2014).
Hasil penelitian Ruci (2013) tentang gambaran tingkat kepatuhan perawat akan cuci tangan dalam terapi oksigen dan tingkat kejadian pneumonia periode tahun 2012 dan tahun 2013 di RSUD Dr. Rubini Mempawah, menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan perawat yang berada diruang rawat inap dalam kategori cukup patuh (53,0%). Tingkat pendidikan didapatkan hasil p value sebesar 0,016 (p > 0,05) Ho diterima dan Ha ditolak yang artinya terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan perawat dalam mencuci tangan. Hubungan umur terhadap kepatuhan perawat dalam cuci tangan mendapatkan hasil p value sebesar 0,041 (p > 0,05) yang artinya terdapat hubungan antara umur dengan tingkat kepatuhan perawat dalam mencuci tangan. PENUTUP Kesimpulan 1. Persepsi cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang sebagian besar kategori negatif yaitu sebanyak 37 orang (56,1%). 2. Keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang sebagian besar kategori tidak patuh yaitu sebanyak 52 orang (78,8%). 3. Ada hubungan antara persepsi cuci tangan dengan kepatuhan cuci tangan keluarga pasien di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang, dengan p value sebesar 0,042 (α = 0,05). Saran Sebaiknya pihak rumah sakit meningkatkan pelayanan bagi psien diantaranya terkait dengan kepatuhan dalam mencuci tangan salah satunya dengan meningkatkan frekuensi penyampaian informasi tentang mencuci tangan baik oleh perawat, tenaga kesehatan atau jajaran tenaga kesehatan lainnya. Pihak rumah sakit hendaknya juga melakukan evaluasi terhadap kepatuhan pasien dalam mencuci tangan secara berkala dan kinerja tenaga kesehatan dalam melaksanakan fungsi edukasi terkait dengan cuci tangan bagi keluarga pasien.
DAFTAR PUSTAKA Adiwimarta (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia.edisi 2, Jakarta : Balai Pustaka Al-Assaf (2010). Mutu Pelayanan Kesehatan : Perspektif Internasional. Jakarta : EGC. Alwi (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arfianti (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan cuci tangan perawat di RSI Sultan Agung Semarang, Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang Arikunto (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Aryani (2009). Prosedur Klinik Keperawatan pada Mata Ajar Kebutuhan. Dasar Manusia. Jakarta : TIM. BNPB. Azwar (2009). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Berman, Barry dan Evans dan Joel (2009). Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis Kozier. Jakarta : EGC Darmadi (2008). Infeksi Nosokomial : Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta. : Penerbit Salemba Medika. Hamzah (2013), Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis Di Bidang. Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Ihsan (2008), Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta. James, Baker dan Swain (2008). PrinsipPrinsip Sains untuk Keperawatan, Erlangga, Jakarta Lindawati (2014). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi Perawat Pelaksana Tentang Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial Di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta
Sobur (2009). Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia Bandung.
Maskuri (2010). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Infeksi Nosokomial Terhadap Perilaku Cuci Tangan Perawat Di Ruang Flamboyan Dan Kenanga RSUD.Dr.H. Soewondo Kendal. Skripsi. Unimus Semarang
Sugiyono (2007). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta
Milton (2011). Buku ajar keperawatan keluarga : Riset, Teori dan. Praktek. Jakarta : EGC Niven (2012). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat & Professional. Kesehatan Lain. Jakarta: EGC. Notoatmodjo (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta :Rineka Cipta. Notoatmodjo (2010). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :Rineka Cipta. Perdalin (2010). Handout Pengendalian Infeksi Nasokomial. Jakarta Potter
& Perry (2008). Buku Ajar Fundamental Keperawatan.Jakarta :Penerbit buku Kedokteran: EGC
Rikayanti (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Mencuci tangan Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Badung. Vol. 2. No 1. Skripsi. Ruci (2013). Gambaran Tingkat Kepatuhan Perawat Akan Cuci Tangan Dalam Terapi Oksigen Dan Tingkat Kejadian Pneumonia Periode Tahun 2012 dan tahun 2013 di RSUD Dr. Rubini Mempawah Saragih & Rumapea (2012). Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Tingkat Kepatuhan Perawat Melakukan Cuci Tangan di Rumah Sakit Columbia Asia Medan. Diambil tanggal 21 Mei 2016 dari http://uda.ac.id/jurnal/files/7.pdf
Sukamto (2007), Teori Belajar dan ModelModel Pembelajaran. Jakarta : Pusat Antar Universitas Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sunaryo, (2008). Psikologi Keperawatan.Jakarta:EGC
Untuk
Suryoputri (2011). Perbedaan Kepatuhan Cuci Tangan Petugas Kesehatan di RSUP dr. Kariadi. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro Sutrisno (2009). Hubungan Motivasi Perawat dengan Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul Tahun 2008. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2009; 12(2): 74-82. Tietjen, Bossemeyer & Mc Intosh (2008). Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Walgito (2010). Pengantar Umum.Yogyakarta: Andi.
Psikologi
Wawan & Dewi (2010), Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan. Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika Zulkarnain (2006). Analisis Kepuasan Pasien Rawat Jalan Terhadap Pelayanan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Periode Maret-Mei 2009, Journal of Pharmaceutic, 4(2) : 55-63