1
RESUME BUKU ILMU PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM KARYA PROF. DR. H. A. TAFSIR Oleh: Dadan Rusmana Judul Penulis Halaman Penerbit Tahun
: : : : :
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Dr. Ahmad Tafsir 208 +viii PT Remaja Rosda Karya 2008 Cetakan ke 8
Menurut Ahmad Tafsir, yang dimaksud dengan ilmu pendidikan Islam (selanjutnya disingkat IPI) adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam (halaman 12). Islam dimaksud adalah nama agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia dan bersumber pada al-Qur’an, hadits, dan akal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa IPI adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan pada al-Qur’an, Hadits, dan akal. Penggunaan dasar IPI haruslah berurutan, yakni al-Qur’an lebih dahulu; Apabila tidak ada atau tidak jelas dalam al-Qur’an, maka harus dicari dalam Hadits; Apabila tidak ada atau tidak jelas dalam Hadits, maka baru dipikirkan oleh akal (halaman 22). Isi dari IPI adalah sekumpulan teori tentang pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Selain dari teori, isi dari IPI adalah penjelasan teori dan data yang mendukung penjelasan teori itu. Teori secara umum adalah pendapat (proposisi) yang logis dan bekerja. Misalnya pendapat Muhammad Abduh mengenai “kurikulum perguruan tinggi Islami haruslah mencakup juga pengetahuan-pengetahuan yang ditemukan“ dapat disebut sebagai sebuat teori Pendidikan Islam. Teori ini dipergunakan Abduh untuk mendesain
2
kurikulum
Universitas
al-Azhar
yang
berusaha
mengintegrasikan
“pengetahuan Islam” dan beberapa pengetahuan yang dikembangkan di Barat. IPI ini harus dibedakan dari Filsafat Pendidikan dan Teknik Pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan pemikiran filosofis mengenai pendidikan, sedangkan teknik pendidikan adalah juklak (petunjuk pelaksanaan) dari ilmu pendidikan (halaman 16-17). Pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam; atau dengan rumusan lain, pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin. Definisi pendidikan Islam di sini merupakan definisi pendidikan dalam arti sempit, yakni menyangkut pendidikan seseorang terhadap orang lain, yang diselenggarakan di dalam keluarga, amsyarakat, dan sekolah, yang menyangkut pembinaan aspek jasmani, aspek akal, dan aspek hati. Pendidikan dalam aspek sempit di sini juga terkait dengan aspek tujuan, pendidik, anak didik, bahan, metode, alat, dan evaluasi (halaman 32). Kompleksitas masalah (wilayah) kajian pendidikan Islam ini dapat dilihat dalam skema 1, yakni sekitar 63 masalah. Pendidikan aspek jasmani
Dalam Keluarga
Tujuan Pendidik Anak Didik
Pendidikan aspek akal
Dalam Masyarakat
Bahan Metode
Pendidikan aspek hati
Di Sekolah
Alat Evaluasi
Skema 1: Masalah Ilmu Pendidikan Islam (Halaman 33)
3
Karena subjek dan objek pendidikan adalah manusia, maka tujuan pendidikan dalam Islam dirumuskan berdasarkan kriteria manusia sempurna. Untuk mengetahui criteria manusia sempurna tersebut, harus diketahui terlebih dahulu hakikat manusia menurut Islam. Apa hakikat manusia menurut Islam? Menurut Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah (halaman 34), yang terdiri dari jasmani, akal, dan hati, yang tumbuh berkembang dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungannya; ia berkecendrungan beragama (halaman 37). Sedangkan karekteristik muslim yang sempurna itu ialah manusia yang memiliki 1) jasmani yang sehat serta kuat, 2) akalnya cerdas serta pandai, dan 3) hatinya takwa kepada Allah. Adapun ciri-ciri jasmani yang sehat dan kuat adalah 1) sehat, 2) kuat, dan 3) berketerampilan. Ciri-ciri akal yang cerdas dan pandai adalah 1) memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara secara tepat dan cepat, 2) memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis, 3) memiliki dan mengembangkan sains, 4) memiliki dan mengembangkan filsafat. Sedangkan ciri-ciri hati yang takwa kepada Allah adalah 1) dengan sukarela melakasanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan 2) hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam ghaib. Dengan demikian, berdasarkan rumusan hakikat manusia di atas, maka tujuan umum pendidikan Islam adalah muslim sempurna atau manusia yang takwa atau manusia beriman atau manusia yang beribadah kepada Allah (halaman 51). Muslim sempurna adalah manusia yang memiliki 9 ciri-ciri tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan desain kurikulum pendidikan Islam yang terpadu. Kerangka desain kurikulum tersebut secara umum adalah sebagai berikut: 1) untuk membentuk jasmani yang sehat dan kuat disediakan mata pelajaran dan kegiatan olah raga dan kesehatan, 2) Untuk menciptakan akal yang cerdas dan pandai, disediakan mata
4
pelajaran dan kegiatan yang dapat mencerdaskan akal dan menambah pengetahuan seperti logika dan berbagai sains, dan 3) untuk meciptakan hati yang penuh iman disediakan mata pelajaran dan kegiatan agama (halaman
71).
Desain
kurikulum
ini
harus
didesain
dengan
mempertimbangkan 1) prinsip keseimbangan, prinsip keterurutan, dan 3) prinsip integrasi pengalaman. Sedangkan, mata-mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan
itu
masing-masing
disesain
sesuai
dengan
1)
perkembangan kemampuan siswa yang bersangkutan, 2) kebutuhan individu dan masyarakatnya menurut tempat dan waktu (halaman 72). Karena tujuan pendidikan di segala tingkatan dan jenis pendidikan berintikan iman, maka desain seluruh mata pelajaran dan kegiatan belajar haruslah bertolak dari dan menuju kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian, inti kurikulum (dalam Islam) adalah kehendak Allah; yakni keasatuan pengetahuan dan pengalaman berpusat pada Allah, pengaturan kehidupan akan sesuai dengan kehendak Allah (halaman 72). Secara operasional, desain kurikulum ini dapat diturunkan ke dalam empat unsur kurikulum, yakni tujuan, isi kurkulum, metode, dan evaluasi. Untuk membreakdown tujuan pendidikan dalam Islam di atas ke dalam unsurunsur kurikulum tersebut, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut (halaman 72-73): 1.
Rumuskanlah tujuan pendidikan sejelas mungkin. Tujuan yang biasanya masih umum perlu dijabarkan (ditaksonomi) atau dibreakdown menjadi tujuan yang operasional dan kecil-kecil; akhirnya akan diperoleh rumusan tujuan yang banyak, mungkin ratusan item.
2.
Menentukan isi kurikulum. Isi kurikulum tersebut berupa materi pengetahuan atau mata pelajaran dan berbagai kegiatan (kokurikuler dan ekstrakurikuler). Di sini, kita dapat membuat mata pelajaran dan kegiatan serta syllabus-nya masing-masing
5
3.
Menentukan metode, yakni menentukan cara mencapai tujuan kurikulum. Di sini banyak teori yang perlu dipertimbangkan, karena metode belajar-mengajar itu merupakan racikan-racikan teori-teori dari disiplin psikologi, metodologi pengajaran, teknik evaluasi, didaktik pada umumnya, pengetahuan tentang alat-alat pengajaran, pertimbangan tentang waktu, tempat, suasana, dan lain-lain. Dalam bentuk operasionalnya, proses belajar-mengajar itu ditulis dalam persiapan mengajar atau lesson plan. Agar dapat membuat lesson plan yang baik, hendaklah dikuasai lebih dahulu teori-teorinya dalam disiplin metodik khusus.
4.
Menentukan teknik dan alat evaluasi. Evaluasi ini berkaitan dengan tujuan kurikulum dengan cara mengukur dan menilai banyak tujuan yang telah dapat dicapai. Agar mampu mengevaluasi kurkulum tersebut, diperlukan adanya penguasaan teori-teori yang ada dalam disiplin teknik evaluasi. Setelah kurikulum didesain secara baik dan terpadu, maka dalam
implementasinya diperlukan kerjasama semua pihak agar mampu mencapai tujuan kurikulum dan tujuan pendidikan secara maksimal. Dalam hal ini, pendidik mempunyai posisi sentral dalam implementasi kurikulum tersebut. Pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (halaman 74). Tugas pendidik adalah mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif. Potensi ini harus dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat setinggi mungkin. Karena itu, orang tua adalah pendidik utama dan utama (halaman 74). Setelah orang tua, guru memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan belajar anak; guru yang dimaksud adalah pendidik yang
6
memberikan palajaran kepada murid (halaman 75). Dalam Islam, guru mendapat penghargaan yang sangat tinggi, sehingga menempatkannya di bawah kedudukan nabi dan rasul. Sedangkan tugas guru dalam Islam meliputi aspek yang luas, tetapi tugas utamanya adalah mendidik. Jika dieksplorasi, A. Tafsir dengan mengutip Al-Abrasyi, tugas guru tersebut menyangkut, 1) Guru harus mengetahui karakter murid, 2) Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam yang diajarkannya maupun dalam cara mengerjakannya, 2) guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (halaman 79). Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka seorang guru harus memenuhi persayaratan sebagai berikut: 1) dari segi usia, guru harus sudah dewasa, 2) dari segi kesehatan, guru harus sehat jasmani dan rohani, 3) dari segi kemampuan, ia harus ahli, dan 4) harus berkesesuaian dan berdedikasi tinggi (halaman 80). Dengan mengutip Mahmud Yunus, A. Tafsir menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni 1) Kasih sayang pada murid, 2) senang memberi nasihat, 3) senang memberi peringatan, 4) senang melarang murid melakukan hal yang tidak baik, 5) bijak dalam memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan lingkungan murid, 6) Hormat pada pelajaran lain yang bukan pegangannya, 7) bijak dalam memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan taraf kemampuan murid, 8) mementingkan berpikir dan berijtihad, 9) jujur dalam keilmuan, dan 10) adil (halaman 84). Dengan kata lain, guru harus memenuhi unsur profesionalisme (halaman 107-119). Selain guru harus profesionalisme, A. Tafsir juga menekankan adanya profesionalisme pada hal-hal berikut. Pertama, adanya profesionalisme pada tingkat yayasan. Kedua, penerapan profesionalisme
pada
pimpinan
sekolah.
Ketiga,
penerapan
profesionalisme pada tingkat tenaga pengajar, yang dimulai sejak seleksi
7
penerimaan tenaga pengajar. Keempat, profesionalisme tenaga tata usaha. Hanya saja, A. Tafsir tidak menjelaskan secara terinci dan memberi tekanan pada pentingnya manajemen pendidikan yang Islami. Selain aspek profesionalisme, aspek dana dan peralatan memegang peranan penting dalam implementasi pendidikan Islam (halaman 90-106). Aspek peralatan terkait dengan infrastruktur dan suprastruktur, maupun terkait dengan hardware maupun software. Semua itu diperlukan untuk meningkatkan kualitas institusi pendidikan, termasuk sekolah (halaman 90). Selain itu, dana dan peralatan juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas kompetensi (profesionalisme) pendidik, termasuk peningkatan taraf hidupnya (halaman 103). Setelah kurikulum terdesain secara baik dan terpadu, maka tahapan selanjutnya adalah berkaitan dengan perumusan dan implementasi metode pendidikannya. Dalam hal ini beberapa metode telah banyak dirumuskan oleh para ahli. Salah satu di antara metode tersebut adalah metode yang dirumuskan oleh al-Nahlawi. Metode-metode tersebut adalah 1) Metode hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi, 2) metode kisah Qur’ani dan Nabawi, 3) metode amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi, 4) metode keteladanan, 5) metode pembiasaan, 6) metode ibrah dan mau’izah, dan 7) metode targhib dan tarhib (halaman 135). Setiap metode tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, penggunaan metode tersebut harus diversifikasi (dicampur atau silih berganti) dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan materi. Selain itu, berbagai metode tersebut harus didukung oleh instrument pembelajaran yang variatif pula. Selain itu pula faktor inisiatif, kreatifitas, dan inovasi guru diperlukan dalam pendidikan dan pengajaran tersebut. Sebagai contoh, pendidikan dapat disampaikan melalui metode pupujian (halaman 148) dan metode wirid (halam 149).
8
A. Tafsir juga melihat adanya bentuk baru dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Dua institusi pendidikan yang merepresentasikan hal tersebut yang disorotinya adalah pesantren kilat dan perguruan silat tenaga dalam. Dalam pandangannya, pesantren kilat mulai marak pada tahun 1980-an di Indonesia. Institusi pendidikan ini dianggap sebagai pendidikan alternatif dalam pendidikan Islam. Terdapat beberapa motif mengenai keikutsertaan orang tua dan siswa dalam pesantren kilat ini, yakni 1) agar anaknya tidak nakal, 2) motif mengisi waktu, 3) menutupi kekurangan pendidikan agama di sekolah. Hanya saja, menurutnya, pesantren kilat ini belum dikelola secara baik sejak kemunculannya hingga kini. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian pesantren dianggap hanya sekedar asal-asalan, tidak termanaj secara baik, dan tidak mempunyai target yang terukur (halaman 120-127). Sementara itu, perguruan silat juga muncul sebagai institusi pendidikan Islam yang memiliki tujuan yang sama, yakni menjadikan anak didik memiliki nilai-nilai akhlak dan sportivitas (halaman 127-130). Lingkungan yang paling penting dalam pendidikan Islam adalah keluarga (halaman 155). Oleh karena itu, pendidikan dalam rumah tangga (keluarga) harus mendapat perhatian yang penting. Pada realitasnya, pendidikan Islam dalam keluarga, banyak dilaksanakan tanpa perencanaan dan kurikulum yang baik. Oleh karena itu, wajar apabila banyak pendidikan Islam dalam keluarga, terutama pendidikan moral-agama terhadap anak, tidak atau kurang berhasil. Tujuan pendidikan dalam keluarga adalah untuk membentuk anak yang sholeh; Dengan rumusan lain, tujuan pendidikan anak adalah agar kelak anak tidak menjadi musuh orang tuanya, yang akan mencelakakan orang tuanya (halaman 163). Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan anak dalam rumah tangga harus direncanakan sebagai baik dan terpadu. Pendidikan keluarga secara
9
berurutan dimulai sejak memilih pasangan hidup, saat kehamilan, saat kelahiran, masa balita, masa anak-anak, masa remaja, dan masa menjelang pernikahan (halaman 155-190). Pada tahapan-tahapan usia anak tersebut, berbagai moment, media, metode harus dimanfaatkan agar mampu mengenali, menggali, dan mengembangkan potensi yang dimiliki anak, agar memiliki Intellectual Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ), Social Quotien (ScQ), dan Spiritual Quotien (SQ). Sebagai bagian akhir tulisan buku ini, A. Tafsir memperkanalkan salah satu institusi pendidikan Islam yang memegang peranan cukup penting dalam pengembangan keilmuan dan penididikan Islam di Indonesia, yaitu pesantren (halaman 191-205). Peranan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam di Indonesia, dan belahan dunia Islam lainnya, tidak diragukan. Namun studi, kajian, dan penelitian tentang system pendidikan dan pengajaran di pesantren masih dirasakan kurang. Oleh karena itu, terdapat pintu terbuka bagi kajian terhadap pesantren ini bagi para peneliti.