LAPORAN PENDAHULUAN MOLAHIDATIDOSA A. Definisi Kehamilan mola adalah suatu kehamilan di mana setelah fertilisasi hasil konsepsi tidak berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari vili korialis di sertai dengan degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Uterus melunak dan berkembang lebih cepat dari usia gestasi yang normal , tidak di jumpai adanya janin , kavum uteri hanya terisi oleh jaringan seperti rangkaian buah anggur (prawirohardjo,2009). Untuk kejadian mola hidatidosa, terdapat faktor sosial ekonomi yang memicu : a. Perkawinan pada usia muda kurang dari 15 tahun atau di atas 45 tahun. b. Pernah mengalami mola hidatidosa atau abortus. c. Kekurangan nutrisi seperti kekurangan protein, kalori dan defisiensi vitamin A. B. Klasifikasi Menurut The U.S. National Institutes of Health secara klinis pembagian mola diklasifikasikan yaitu mola komplit dan mola parsialis. 1. Mola Komplit Kehamilan mola komplit yaitu kehamilan mola tanpa adanya janin. Pada pemeriksaan kandungan dijumpai pembesaran rahim tetapi tidak teraba bagian tubuh janin. Hal ini disebabkan 1 sperma membuahi sel telur dengan gen yang sudah tidak aktif, kemudian kromosom paternal berkembang menjadi kromosom 46 XX atau 46 XY yang sepenuhnya merupakan kromosom sang ayah, sehingga didapati perkembangan plasenta tanpa adanya janin. 2. Mola Parsialis (Inkomplit) Kehamilan mola parsialis, adalah kehamilan yang terdapat perkembangan abnormal dari plasenta tetapi masih didapati janin. Kehamilan mola parsialis biasanya disebabkan karena 2 sperma membuahi 1 sel telur. Hal ini menyebabkan terjadi nya kehamilan triploidi (69 XXX atau 69 XXY), sehingga selain terjadinya perkembangan plasenta yang abnormal juga disertai perkembangan janin yang abnormal pula. Janin pada kehamilan mola parsialis biasanya juga meninggal di dalam rahim karena memiliki kelainan kromosom dan kelainan kongenital seperti bibir sumbing dan syndactily. Selain itu mola parsialis juga dapat disebabkan adanya pembuahan sel telur yang haploid oleh sperma diploid 46 XY yang belum tereduksi. C. Etiologi Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya adalah: 1. Faktor ovum Pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma. Spermatozoon memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua serum memasuki ovum tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau gangguan dalam pembuahan.
2. Imunoselektif dari trofoblas Perkembangan molahidatidosa diperkirakan disebabkan oleh kesalahan respon imun ibu terhadap invasi oleh trofoblas. Akibatnya vili mengalami distensi kaya nutrient. Pembuluh darah primitive di dalam vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio ‘ kelaparan’, mati, dan diabsorpsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan pada keadaan tertentu mengadakan invasi kejaringan ibu. 3. Usia Faktor usia yang dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat terjadi kehamilan mola. Frekuensi molahidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur relatif tinggi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada usia berapa pun dalam usia subur dapat terjadi kehamilan mola. 4. Faktor gizi (defisiensi protein, asam folat, histidin, dan beta karoten). Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin, Sesuai dengan fungsi gizi khususnya protein yaitu untuk pembentukan jaringan atau fetus sehingga apabila terjadi kekurangan protein saat hamil dapat menyebabkan gangguan pembentukan fetus secara sempurna yang menimbulkan jonjot – jonjot korion berupa molahidatidosa. 5. Paritas tinggi Pada ibu yang berparitas tinggi, cenderung beresiko terjadi kehamilan molahidatidosa karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi secara genetik yang dapat diidentifikasikan dengan penggunaan stimulandrulasi seperti klomifen atau menotropiris (personal). Namun juga tidak dapat dipungkiri pada primipara pun dakpat terjadi kehamilan molahidatidosa. 6. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas Infeksi mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau adanya mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu menimbulkan penyakit ( desease ). Hal ini sangat tergantung dari jumlah mikroba ( kuman atau virus ) yang termasuk virulensinya seta daya tahan tubuh. D. Manifestasi Klinis Pada stadium awal, tanda dan gejal mola hidatidosa tidak dapat dibedakan dari kehamilan normal, kemudian perdarahan pervagina terjadi pada hampir setiap kasus. Pengeluaran pervagina mungkin berwarna coklat tua (menyerupai juice prune) atau merah terang, jumlahnya sedikit-sedikit atau banyak, itu berlangsung hanya beberapa hari atau terus-menerus untuk beberapa minggu. Pada awal kehamilan beberapa wanita mempunyai uterus lebih besar dari pada perkiraan menstruasi berakhir, kira-kira 25% wanita akan mempunyai uterus lebih kecil dari perkiraan menstruasi terakhir. Pada penderita mola dapat ditemukan beberapa gejala-gejala sebagai berikut: 1. Terdapat gejala - gejala hamil muda yang kadang - kadang lebih nyata dari kehamilan biasa dan amenore. 2. Terdapat perdarahan per vaginam yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna kecoklatan seperti bumbu rujak. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola seperti anggur.
3. Pembesaran
uterus
tidak
sesuai
(
lebih
besar
)
dengan
tua
kehamilan
seharusnya. 4. Tidak teraba bagian - bagian janin dan balotemen, juga gerakan janin serta tidak terdengar bunyi denyut jantung janin. 5. Kadar gonadotropin tinggi dalam darah serum pada hari ke 100 atau lebih sesudah periode menstruasi terakhir. E. Patofisiologi Jonjot-jonjot korion tumbuh berganda dan mengandung cairan merupakan kista-kista kecil seperti anggur. Biasanya didalamnya tidak berisi embrio. Secara histopatologik kadang-kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan bayi normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola adalah satu janin tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai berdiameter lebih dari satu cm. Mola parsialis adalah bila dijumpai janin dan gelembung-gelembung mola. Secara mikroskopik terlihat trias : 1. Poliferasi dari trofoblast 2. Degenerasi hidropik dari stroma vili dan kesembaban 3. Terlambat atau hilangnya pembuluh darah dan stroma. Ada beberapa teori yang dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini: 1. Teori missed abortion. Kematian mudigan pada usia kehamilan 3-5 minggu saat dimana seharusnya sirkulasi fetomaternal terbentuk menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-substansi yang berasal dari sirkulasi ibu diakumulasikan ke dalam stroma villi sehingga terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam kista tersebut menyerupai cairan ascites atau edema tetapi kaya akan HCG. 2. Teori neoplasma dari park Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigan. Sebagian dari vili berubah menjadi gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin, hanya pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-gelembung ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uterus. F. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologis atau rontgen. Tidak terlihat gambaran tulang janin/rangka tulang (pada kehamilan 3 – 4 bulan). Yang terlihat justru gambaran mirip sarang lebah (honeycomb) atau gambaran mirip badai salju (snow storm). 2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Merupakan pemeriksaan standar untuk mengidentifikasi kehamilan molahidatidosa. Ditemukan gambaran mirip badai salju (snow storm) yang mengindikasikan khoriales yang hidropik dan
tidak adanya gambaran yang menunjukkan denyut jantung janin. Bila ditegakkan diagnosis molahidatidosa, maka pemeriksaan rontgen paru harus di lakukan untuk melihat penyebaran ke paru – paru, karena paru – paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG (Penyakit Trofoblas Ganas). 3. Pemeriksaan doopler. Denyut jantung janin tidak terdengar. 4. Pemeriksaan laboratorium: - Kadar ßHCG cenderung meningkat dan bertambah kuat (lebih tinggi dari kadar kehamilan -
normal) terutama pada trimester I. Hemoglobin, hematokrit, eritrosit menurun. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi disertai dengan kecenderungan terjadinya koagulopati, sehingga pemeriksaan darah
lengkap dan tes koagulasi dilakukan. - Protein urine positif (+). 5. Pemeriksaan histologis/patologi anatomi. Yaitu pemeriksaan mikroskopis gelembung cairan mirip anggur. - Pada mola komplet, tidak terdapat jaringan fetus, terdapat proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom 46, XX atau 46, XY. - Pada mola parsial, terdapat jaringan fetus beserta amnion dan eritrosit fetus. 6. Pemeriksaan T3 dan T4 bila tampak tanda – tanda tirotoksikosis hipertiroid G. Penatalaksanaan Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu: 1. Perbaiki keadaan umum Yang dimaksud usaha ini yaitu koreksi dehidrasi, transfusi darah bila anemia (Hb 8 gr%), jika ada gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum diobati sesuai dengan protocol penanganannya. Sedang-kan bila ada gejala tirotoksikosis di konsul ke bagian penyakit dalam. 2. Pengeluaran jaringan mola Ada 2 cara yaitu: 1) Kuretase Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan. Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian. Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan pemasangan infus dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam 500 cc Dextrose 5%/. Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval minimal 1 minggu. Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA. 2) Histerektomi 3. Terapi profilaksis dengan sitostatika Pemberian kemoterapi repofilaksis pada pasien pasca evaluasi mola hidatidosa masih menjadi kontroversi. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi neoplasma setelah evaluasi mola pada kasus yang mendapat-kan metotreksat sekitar 14%, sedangkan yang tidak mendapat sekitar 47%. Pada umumnya profilaksis kemoterapi pada kasus mola hidatidosa
ditinggalkan dengan pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterapi untuk tujuan terapi definitive memberi-kan keberhasilan hampir 100%. Sehingga pemberian profilaksis diberikan apabila dipandang perlu pilihan profilaksis kemoterapi adalah: Metotreksat 20 mg/ hari IM selama 5 hari. 4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up). - Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun - Setelah pengawasan penderita dianjur-kan memakai kontrasepsi kondom, pil kombinasi atau diafragma dan pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pada saat penderita datang -
kontrol Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan kadar β-hCG normal
-
tiga kali berturut-turut Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai kadar β-hCG normal selama 6 kali
-
berturut-turut Bila terjadi remisi spontan (kadar β-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah saru tahun semua-nya normal) maka penderita tersebut dapat berhenti menggunakan kontrasepsi
-
dan hamil lagi. Bila selama masa observasi kadar β-hCG tetap atau bahkan meningkat pada pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan adanya metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
H. Komplikasi Pada penderita mola yang lanjut dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai berikut: 1. Anemia, Perdarahan yang berulang – ulang dapat menyebabkan anemia. Anemia adalah defisiensi besi sering dijumpai dan kadang – kadang terdapat eritropoiesis megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi karena mual dan muntah disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat berproliferasi. 2. Syok, Perdarahan yang hebat dapat menyebabkan syok, bila tidak segera ditangani dapat berakibat fatal. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus, atau yang lebih sering terjadi secara intermiten selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Efek dilusi akibat hipervolemia yang cukup berat dibuktikan terjadi pada sebagian wanita yang molahidatidosanya lebih besar. Kadang – kadang terjadi perdarahan berat yang tertutup di dalam uterus. 3. Tirotoksikosis/ Hipertiroidisme, Pada kehamilan biasa, plasenta membentuk Human Chorionic Thyrotropin (HCT). Pada trimester-1, T4 (tiroksin) meningkat antara 7-12 mg/100 ml, sedangkan T3 (triyodotiroin) tidak terlalu banyak meningkat, Pada penyakit molahidatidosa perubahan fungsi tiroid lebih menonjol lagi. Kadar T4 dalam serum biasanya melebihi 12 mg/100 ml, akibatnya kadar T4 bebas lebih tinggi. 4. Infeksi sekunder.
5. Perforasi uterus (perlubangan pada rahim) terjadi saat melakukan tindakan kuretase (suction curettage) terkadang terjadi karena uterus luas dan lembek (boggy). Jika terjadi perforasi, harus segera diambil tindakan dengan bantuan laparoskop. 6. Keganasan ( penyakit trofoblas gestasional) Penyakit trofoblas ganas (malignant trophoblastic disease) berkembang pada 20% kehamilan mola. Oleh karena itu, quantitative HCG sebaiknya dimonitor terus-menerus selama satu tahun setelah evakuasi (postevacuation) mola sampai hasilnya negatif (I Nyoman, 2009). I. WOC Molahidatidosa
DAFTAR PUSTAKA
Budiana, Gede Nyoman. 2009. Koriokarsinoma Pasca Abortus. Denpasar : Bag/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
Herdman, T. Heather. 2012. Buku NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC. Mukharomah, Lailatul. 2011. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Molla. Semarang : Akademi Kebidanan Abdi Husada. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Bina Pustaka. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kandungan, Edisi Ketiga. Jakarta : Bina Pustaka.