Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi. Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando. Indonesia dalam Denting Sasando SASANDO, alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, bisa dikatakan hampir tenggelam di tengah lalu lintas musik industri saat ini. Instrumen petik yang menjadi salah satu kekayaan bunyi yang penting di Nusantara itu nyaris tak didengar oleh khalayak di negeri sendiri. KEKAYAAN bunyi yang tersimpan dalam sasando berikut para maestronya akan ditampilkan dalam pergelaran musik Megalitikum-Kuantum pada 29-30 Juni mendatang di Jakarta Convention Center. Sasando dari sisi bahan memang terkesan sederhana. Sasando tradisional menggunakan sembilan dawai yang terpasang pada tabung bambu. Itu mengapa ia digolongkan sebagai jenis tube-zither-siter tabung. Sebagai resonator, digunakan daun lontar muda yang ditangkupkan sehingga membentuk rongga setengah lingkaran. Alat itu dimainkan dengan cara dipangku dan dipetik dengan jari-jari kedua tangan. Dalam khazanah bunyi di Nusantara, sasando termasuk unik. Instrumen dengan sistem tangga nada heksatobik atau enam nada ini mempunyai gaya melodi yang terdengar lain dibandingkan dengan musik lain di Indonesia. "Melodinya menggunakan gaya menurun ke bawah, descending movement, yang mengingatkan pada gaya Afrika. Ini unik untuk Indonesia. Perlu didengar dan diapresiasi," kata etnomusikolog Rizaldi Siagian tentang sasando dan komposisi tradisional. Siter tabung serupa sasando dijumpai di Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, yang banyak menghasilkan bambu. Sejumlah tempat di Indonesia juga mengenal alat musik petik serupa sasando. Di Mandailing dikenal gondang bulu, sedangkan di Karo terdapat keteng-keteng.
"Perbedannya dengan sasando, gondang bulu dan keteng-keteng berfungsi ritmik, bukan melodik," kata Rizaldi. Dalam tata pergaulan internasional di masa lalu, sasando bahkan pernah berpengaruh sampai ke Madagaskar. Negeri itu juga mengenal alat musik petik serupa sasando yang disebut valiha yang dijadikan alat musik nasional Madagaskar.
SASANDO menjadi bagian dari hidup keseharian Hendrik Pah (59), seniman sekaligus pembuat sasando asal Rote yang kini tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bersama rekannya, Nane Messakh, Hendrik akan memainkan sasando dalam pergelaran Megalitikum-Kuantum yang digelar untuk memperingati 40 tahun harian Kompas. Hendrik tinggal jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Rumahnya yang sederhana di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, NTT, itu terletak di sekitar ladang jagung. Rumah berlantai tanah itu berdinding yang terbuat dari pelepah daun lontar. Atap rumah terbuat dari daun pohon lontar. Bahan dasar rumah itu tak jauh beda dengan bahan dasar alat musik sasando yang menggunakan daun lontar sebagai rongga resonator. Di halaman belakang rumah terdapat peranti untuk membuat sasando. Hendrik menggunakan teknologi bersahaja untuk membubut kayu yang digunakan sebagai penambat tali sasando. Perkakas itu berfungsi sebagai semacam mesin bubut. Alat itu terbuat dari pelepah daun lontar yang ditancapkan di tanah. Pada ujung lengkungan yang lentur itu dipasang tali yang dihubungkan ke pedal dari kayu. Lengkung dan tali serta pedal itu menghasilkan tenaga yang digunakan untuk menggerakkan roda. Roda itulah yang menjadi pemutar kayu untuk dibentuk sebagai penambat tali sasando. Dari kehidupan yang serba sederhana itulah Hendrik membuat dan memainkan sasando yang secara turun-temurun diajarkan leluhurnya di kampung halaman di Pulau Rote. Keluarga besar Pah memang termasuk keturunan seniman sasando yang cukup dikenal di NTT, terutama di sekitar Kupang. Ia bermain dari desa ke desa memenuhi panggilan orang yang mengadakan upacara, mulai dari kelahiran, perkawinan, sampai kematian. Hendrik seperti menyanyikan kehidupan dengan sasando dan lagunya. Siklus hidup manusia, mulai dari lahir, kawin, sampai mati, itu tadi ikut ia rayakan dengan sasando dan syair. Suatu malam di Kupang, Hendrik dan Nane berduet memainkan sasando sambil melantunkan syair-syair tentang kehidupan, tentang kematian. Bagi yang telanjur terpola dengan tata bunyi musik pop, nyanyian sasando Hendrik dan kawan-kawan itu mungkin akan terdengar aneh, tapi itulah sepotong wajah Indonesia, yang terlupakan. SASANDO dalam perkembangannya harus berhadapan dengan perubahan zaman. Di masa lalu ei atau dawai sasando terbuat dari sayatan kulit bambu. Ada pula yang membuat dawai dari daun gewang. Zaman telah berganti dan serat-serat kawat kopling
sepeda motor pun dijadikan tali sasando. Ada pula yang memilih menggunakan dawai gitar. Sasando juga diajak untuk masuk dalam wilayah kultur pop. Zakarias Ndaong (27), pemilik kios kecil Dalek Esa, di Jalan Timor, Oesapa, Kupang, dengan terampil membawakan lagu-lagu pop seperti I Have a Dream dari ABBA yang belakangan dipopulerkan boyband Westlife. Zakarias tampak bangga memainkan sasando lipat itu di depan para tamu yang mengunjungi kiosnya. Ia lalu mengenakan topi ti’ilangga, topi khas Rote yang terbuat dari daun lontar. Ia juga memainkan lagu ABBA lain, yaitu Chiquitita. Ia juga memainkan lagu Mother How are You Today. Seorang pembeli meminta Zakarias memainkan lagu tradisional. Oleh pengantar tamu ia lalu diminta memainkan lagu "Jepang". Rupanya yang dimaksud lagu Jepang itu adalah Kokoronotomo, lagu pop juga yang kebetulan berlirik bahasa Jepang. Lagu tersebut pernah populer di Indonesia pada pertengahan tahun 1980-an. Rupanya, sasando juga mengikuti perkembangan musik pop. Setidaknya, Zakarias juga siap memainkan lagu Sheila on 7 sampai lagu Peterpan Ada Apa Denganmu yang tengah populer. Agaknya, Zakarias memang akrab dengan dunia gaul. Melongok ke bilik di balik kios itu terlihat poster band pop All Saints, 5ive sampai kumpulan grup The Rockers of ’90. Agar dapat digunakan untuk memainkan I Have a Dream, Kokoronotomo, atau Ada Apa Denganmu itu, maka sasando harus di-stem dengan titi nada diatonis. Menurut Zakarias, yang paling banyak dibeli orang adalah sasando diatonis. Agar bisa bersaing dengan gemuruh zaman, sasando pun dibuat versi elektronis yang dilengkapi dengan perangkat spool layaknya gitar listrik. Untuk versi elektrik itu, sasando telah menanggalkan resonator lontarnya. Demi kepraktisan, muncullah kemudian sasando lipat. Tangkupan daun lontar pada sasando bisa dilipat seperti bilah-bilah kipas yang bisa ditutup rapi. Begitulah sasando disesuaikan dengan gaya hidup kaum urban yang serba praktis yang menciptakan segala sesuatu serba portable, gampang dijinjing dan tidak memakan tempat. Apa boleh buat, gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi butuh sesuatu yang serba praktis. Bukankah di Desa Oebelo kini orang-orang lebih suka menggunakan kursi plastik warna-warni, produk massal yang menggantikan kursi kayu yang bahan bakunya semakin susah didapat. Sasando juga telah berhadapan dengan pasar global. Ia berada di arena yang sama dengan produk industri massal yang mengitari habitat sasando. Tak jauh dari kios sasando itu bertebaran poster iklan rokok LA Lights sampai Coca-Cola. Ada juga toko roti dengan mana mentereng Paris Bakery. Ada juga dealer mobil Toyota. Ketika Zakarias sedang memainkan sasando, di jalan raya melintas truk mengangkut belasan sepeda motor bebek.
Sasando berada di tengah masyarakat yang berubah: mobilitas cepat, konsumerisme, budaya pasar. Sasando pun menjadi barang produksi dengan mengikuti kultur pasar. Sasando dijual dengan harga bervariasi sesuai jenis. Sasando lipat dijual dengan harga sekitar Rp 500.000. Untuk sasando elektrik dipasang harga sekitar Rp 1 juta. Sasando konvensional, nonlipat, dijual dengan harga berbeda-beda di setiap perajin. Ada yang menjual Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Ada pula sasando suvenir yang mungil berukuran sekitar tujuh sentimeter yang dijual seharga Rp 50.000. Sasando versi cenderamata ini tentu saja tidak bisa dimainkan. Ia sering dijadikan oleh-oleh dan bisa dipajang sebagai hiasan-tanpa denting-denting indah itu. Sasando yang berubah boleh jadi menjadi pantulan wajah bangsa yang berubah. Semoga dentingnya masih sempat didengar oleh bangsa yang seperti sedang belajar mengingat kembali wajah sendiri ini.(XAR) Denting Terakhir Generasi Sasando dari Pulau Rote Amir Sodikin Sasando. Tidak salah lagi, Pulau Rote-lah yang memiliki alat musik petik yang ruang resonansinya terbuat dari haik, bentuk setengah lingkaran yang dibuat dari daun lontar. Tim Lintas Timur-Barat seharian menyisir pulau mencari pembuat dan pemain sasando. Hasilnya tidak begitu menggembirakan. Pemain dan pembuat sasando ternyata mulai langka. Menyusuri Nusa Tenggara Timur serasa belum lengkap jika tidak menyambangi Pulau Rote Kabupaten Rote Ndao. Rote layak dikunjungi bukan semata karena pulau terluar Indonesia paling selatan, namun juga karena budayanya yang unik. Di pulau ini sasando adalah puncak pencapaian seni musik yang ditemukan sejak abad ke-15. Hanokh Panie, warga Rote yang menjadi pemandu sukarela tanpa mau dibayar membawa tim kepada Yusuf Nggebu, pemain dan pembuat sasando ternama di pulau itu. Hampir semua orang Rote mengenal Yusuf Nggebu (82). Namun, kini pemilik nama besar itu tidak lagi aktif bermain karena usianya yang sudah lanjut. Ketika dikunjungi, Nggebu masih bersemangat membahas nasib sasando yang saat ini hampir kolaps. Di mata Nggebu, sasando bukan sekadar alat musik tradisional, namun lebih dari itu, sasando telah menjadi identitas Rote. Nggebu menceritakan hikayat asal-usul sasando yang penuh dengan ”warna”. Sasando berasal dari kata sari (petik) dan sando (bergetar) yang diyakini diciptakan Sanggu Ana pada abad ke-15 di pulau kecil dekat Pulau Rote, yaitu Pulau Dana, yang waktu itu dikuasai Raja Taka La’a. Sanggu adalah warga Nusa Ti’i di Pulau Rote Barat Daya. Dia
ditahan Raja Dana saat terdampar di pulau itu ketika mencari ikan bersama kawannya, Mankoa. Selain seorang nelayan, Sanggu juga seorang seniman. Saat itu Raja Dana memiliki putri. ”Tidak disebutkan siapa nama putri ini,” kata Nggebu. Putri jatuh cinta kepada Sanggu. Kepada Sanggu, putri menyampaikan permintaannya untuk memiliki alat musik baru yang diciptakan Sanggu dan bisa menghibur rakyat. Putri memang suka membuat hiburan rakyat saat purnama tiba. Sanggu kemudian menciptakan sari sando yang artinya bergetar saat dipetik. Saat itu dengan tujuh tali yang terbuat dari serat kulit kayu atau akar-akaran. Hubungan putri dengan Sanggu itu ketahuan Raja Dana. Sang Raja Taka La’a marah besar dan menghukum mati Sanggu. Kawan Sanggu yang sempat melarikan diri, Mankoa, melaporkan kejadian itu ke Nusa Ti’i. Anak Sanggu di Ti’i, Nale Sanggu, marah mendengar ayahnya tewas. Nale balas dendam bersama 25 kesatria Ti’i. Seisi Pulau Dana dimusnahkan, hanya anak-anak dan alat musik sasando warisan ayahnya yang diselamatkan ke Ti’i. Di Ti’i sasando dimodifikasi, talinya menjadi sembilan. ”Musiknya sudah bisa lima not terdiri dari mi, sol, la, do, re. Si dan fa tidak ada,” jelas Nggebu. Pada zaman Belanda, abad ke-18, jumlah tali ditambah menjadi 10 tali. Sesudah merdeka kembali mengalami perubahan dengan menambahkan tali menjadi 11 tali. Pada abad ke19, sasando sasando haik itu dimodifikasi menjadi sasando biola oleh putra Ti’i bernama Kornelis Frans. Disebut sasando biola karena saat membuat nadanya disesuaikan nada biola. Jumlah tali menjadi 39 buah dan nada pokok menjadi tujuh not. Kepada Tim Lintas Timur-Barat, Nggebu menunjukkan sasando biola miliknya yang sudah dimodifikasi. Ruang resonansinya tak lagi menggunakan haik, namun diganti kotak kayu dan dihubungkan amplifier agar suaranya nyaring. Menjelang punah Nasib sasando biola semakin mengkhawatirkan karena lebih sulit memainkannya. Hanya Nggebu yang bisa memainkan baik sasando haik maupun sasando biola secara sempurna. Lebih sulit jika mencari pembuat sasando biola, kini tidak ada lagi yang bisa membuat sasando biola. ”Pak Nggebu ini yang bisa membuat baik sasando haik maupun sasando biola dengan baik,” kata Hanokh Panie, guru SMP 3 Rote Tengah yang pernah mengajar pembuatan sasando. Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rote Ndao, Musa Balokh, mengatakan, saat ini sebenarnya masih ada beberapa pengrajin sasando haik. Situasi kritis yang menimpa nasib sasando biola ini juga dituturkan Maria (56), istri
kedua Nggebu. Kata Maria, tidak ada yang bisa mewarisi pembuatan maupun memainkan sasando biola. Dari 10 anak Nggebu hasil perkawinan istri pertama mendiang Mariana Henu, hanya tiga orang yang mewarisi sebagian kemampuan ayahnya. Paulus Nggebu, anak keempat, bisa memainkan sasando haik, namun kemampuannya tak terasah lagi karena tinggal di Jakarta. Yandri Nggebu, anak kesepuluh, juga bisa memainkan sasando haik, namun lagi-lagi tidak maksimal karena berada di Jakarta. Hal yang sedikit menggembirakan, salah satu anak perempuan nomor dua, yaitu Yakoba yang masih tinggal di Rote, bisa memainkan baik sasando haik maupun sasando biola. Nggebu berharap pemerintah mengambil alih usaha pelestarian kesenian sasando. Selama ini pemerintah dinilai tidak aktif mengembangkan sasando. ”Pemerintah bisa mempertahankannya dengan memasukkannya sebagai mata pelajaran sekolah,” usul Nggebu. Sebenarnya regenerasi pemain maupun pembuat sasando pernah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil. Hanokh Panie pernah diundang pemerintah mengajar pelatihan pembuatan sasando. Namun, tidak ada satu pun yang benar-benar menjadi perajin. Padahal, biaya pelatihan cukup besar.